JAKARTA, HUMAS MKRI – Masa pandemi akibat Covid-19 tidak menghalangi Sekretariat Bidang Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Mahkamah Konstitusi dan lembaga sejenis di Asia (Secretariat for Research and Development of The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions/AACC SRD) menggelar Konferensi Penelitian AACC SRD Ke-2 (2nd Research Conference of The AACC SRD). Konferensi penelitian kedua ini dilaksanakan melalui jaringan dari negara-negara anggota pada Kamis (24/9/2020). Kegiatan yang mengangkat tema “Kebebasan Berekspresi: Pengalaman Anggota AACC" ini diikuti 28 orang peneliti dan setingkatnya dari Mahkamah Konstitusi dan lembaga sejenis di Asia di antaranya dari Indonesia, Azerbaijan, Korea Selatan, Maladewa, Afganistan, Malaysia, Kirgistan, Kazakstan, Mongolia, Thailand, Myanmar, Turki, Uzbekistan, Tajikistan, Rusia, Filipina, dan India.
Pada kesempatan ini, Peneliti Mahkamah Konstitusi RI (MKRI) Sharfina Sabila hadir sebagai pemakalah dengan judul presentasi “Constitutional Court’s Stance in Freedom of Expression.” Dalam paparan singkatnya, Sharfina mengawali paparan dengan menyatakan bahwa pada periode 2019, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) berada pada angka 74,92 poin yang mencakup pada tiga aspek, yakni kebebasan sipil, hak politik, dan keberadaan lembaga demokrasi. Pada aspek kebebasan sipil, Sharfina mencermati adanya penurunan sebesar 1,26 poin dari tahun sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya peningkatan ancaman atau penggunaan kekerasan oleh pejabat pemerintah yang menyebabkan terhalangnya kebebasan berbicara. Padahal, jelas Sharfina, aktivitas demikian adalah salah satu wujud dari kebebasan berekspresi.
Lebih lanjut, Sharfina menerangkan bahwa dalam kerangka hukum dari kebebasan berekspresi, terdapat instrumen internasional dan nasional yang menyertainya. Khusus untuk kasus di Indonesia, Pancasila adalah sebuah instrumen yang menjadi landasan utama dalam pemenuhan hak setiap warga negara dalam berekspresi. Di dalamnya termuat ideologi dari bangsa Indonesia dan keputusan konstitusional. Sebagaimana pula ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
“Secara tegas norma tersebut menyatakan adanya jaminan untuk kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara,” sampai Sharfina dari Gedung MKRI Lantai 5, yang tampil bersama Panitera Pengganti MK Hani Andhani yang merupakan salah satu peserta konferensi yang juga menjadi perwakilan MKRI.
Untuk menggambarkan sikap konkret Mahkamah dalam hal kebebasan berekspresi ini, Sharfina mengilustrasikannya melalui tiga Putusan MK, yakni Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008, dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Pada putusan-putusan ini, dinyatakan bahwa kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat adalah salah satu pilar demokrasi. Namun, ketika kebebasan tersebut tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral, sambung Sharfina, justru yang terjadi adalah pengingkaran terhadap demokrasi. Sebagaimana termaktub dengan jelas dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbuyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
“Dengan demikian, kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara adalah hak konstitusional yang harus dilindungi hukum,” sampai Sharfina pada kegiatan yang dimoderatori oleh Kim Jinwook dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan.
Pada kesempatan hari kedua konferensi ini, tampil beberapa pemakalah lainnya yakni Muhammad Zia Farahmand dari Mahkamah Konstitusi Afganistan, Kamran Jafarov dari Mahkamah Konstitusi Azerbaijan, Yongbeom Choi dari Mahkamah Konstitusi Korea Selatan, dan Raul Villanueva dari Mahkamah Agung Republik Filipina. Sebagai informasi, kegiatan berskala international ini diselenggarakan oleh Korea Selatan selaku tuan rumah konferensi selama 3 hari (23 - 25/9/2020). Kegiatan ini diselenggarakan sebagai wujud dari komitmen bersama anggota AACC untuk meningkatkan publikasi penelitian dari masing-masing anggota. Setiap anggota AACC diberikan kesempatan mengirimkan dua perwakilannya untuk kemudian memberikan presentasi dan terlibat dalam diskusi sesuai dengan topik diskusi panel yang telah dipilih. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari