JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) digelar di Mahkamah Konstitusi pada Kamis (24/9/2020) siang. Pemohon adalah Abu Bakar, buruh harian lepas yang menguji Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan. Agenda sidang adalah perbaikan permohonan.
Para kuasa Pemohon, M. Maulana Bungaran dan Munathsir Mustaman sedang bertugas ke luar kota sehingga tidak dapat membacakan perbaikan permohonan, baik secara langsung dalam persidangan maupun secara virtual. Pada persidangan kali ini, yang akan membacakan perbaikan permohonan adalah kuasa Pemohon lainnya yaitu Dwi Ratri Mahanani.
Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 72/PUU-XVIII/2020 ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dua anggota panel, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Sesaat setelah persidangan dibuka, dilanjutkan perkenalan, panel hakim memutuskan Dwi Ratri Mahanani tidak perlu membacakan perbaikan permohonan. Alasannya, karena Dwi Ratri tidak ikut menandatangani perbaikan permohonan.
“Walaupun ada perbaikan permohonan, tapi tidak dibacakan dan kami akan menerima perbaikan permohonan tertulis yang nanti akan kami bahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Apapun hasilnya, nanti Saudara akan mendapat informasi dari Kepaniteraan MK. Sebetulnya kalau Saudara Ratri mendapat kuasa substitusi dari Maulana Bungaran dan Munathsir Mustaman selaku kuasa Pemohon, Saudara Ratri bisa (membacakan perbaikan permohonan). Kalau alasannya para kuasa Pemohon sedang tugas ke luar daerah, mereka bisa menyampaikan secara virtual karena sidangnya online,” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengingatkan Dwi Ratri Mahanani agar mengikuti persidangan MK sesuai hukum acara yang berlaku. “Jadi jangan melemahkan hukum acara yang berlaku dalam persidangan MK,” ucap Manahan.
Ketua Panel Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, jika Pemohon serius dalam permohonan pengujian undang-undang ini, maka segala sesuatunya sudah dipersiapkan dan tidak dilakukan secara mendadak. “Oleh karena itu, terkait dengan perbaikan permohonan, kami terima. Tetapi Bu Ratri tidak bisa menyampaikan isi perbaikan permohonan karena Bu Ratri tidak mempunyai alas hak dalam persidangan, sekalipun persidangan dilakukan secara daring,” tegas Enny.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Abu Bakar yang bekerja sebagai buruh harian lepas. Pemohon menguji Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan. Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Keprotokolan menyatakan, “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;” Kemudian Pasal 9 ayat (1) huruf m UU Keprotokolan menyatakan, “Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;”
Baca Juga:
Seorang Buruh Persoalkan Tata Letak Pimpinan DPR dalam Acara Kenegaraan
Pada persidangan pemeriksaan pendahuluan, Kamis (10/9/2020) Pemohon diwakili kuasa hukumnya Munatsir Mustaman menjelaskan Pemohon adalah pemilih dalam Pemilu 2019 untuk pemilihan anggota DPR. Menurut Pemohon, keberadaan objek yang diuji tidak menjelaskan tata tempat untuk Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi, telah menimbulkan ketidakjelasan, yang dalam praktiknya terpisah-pisah. Padahal Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR sama-sama berstatus Pimpinan DPR yang bertugas secara kolektif dan kolegial menjalankan kewenangan dan mengambil keputusan secara bersama dalam posisi yang setara.
Hal demikian menyebabkan kerugian Pemohon selaku pemilih anggota DPR yaitu dilanggarnya prinsip kerja kolektif dan kolegial dan rusaknya kehormatan dan keluhuran martabat DPR yang merupakan hak Pemohon untuk memilih anggota DPR berdasarkan Konstitusi. Oleh karena itu, segala hak konstitusional yang Pemohon perjuangkan ini bersumber dan identik dengan hak konstitusional seluruh pemilih di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas Pemohon beranggapan memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini.
Menurut Pemohon, pada Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib dalam Pengaturan Wewenang Pimpinan DPR tidak ada pembedaan. Tetapi prinsip kerja kolektif kolegial Pimpinan DPR tersebut tidak terlihat pada penerapan hak keprotokolan, karena faktanya Tata Letak Pimpinan DPR dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi sering terpisah-pisah antara Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR. Hal tersebut terjadi karena frasa “sesuai urutan sebagaimana dimaksud UU Keprotokolan” yang tidak mengatur dengan jelas Tata Letak Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana
Foto: Gani.