JAKARTA, HUMAS MKRI – Din Syamsuddin, Amien Rais, dan kawan-kawan, tidak patah arang untuk mencari keadilan terkait kebijakan keuangan negara dalam menangani pandemi Covid-19 sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU 2/2020). Untuk kedua kalinya, para Pemohon yang terdiri dari 56 Pemohon perseorangan dan sejumlah antara lain Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Wanita Al-Irsyad, Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad.
Sidang perdana Perkara 75/PUU-XVIII/2020 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/9/2020) siang. Para Pemohon menguji Pasal Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2 dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran UU 2/2020. Beberapa Pemohon perkara ini merupakan Pemohon yang sama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang dinyatakan tidak diterima. Ibnu Sina Chandranegara selaku kuasa hukum menjelaskan bahwa para Pemohon beranggapan melalui Putusan MK Nomor 004/PUU-I/2003 mengemukakan bahwa UUD 1945 khususnya Pasal 24C merupakan dasar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Namun dalam pengujian Pasal 50 UU MK untuk perkara yang sama, Mahkamah menyatakan meskipun tidak disebutkan dalam putusan MK, tapi secara jelas menegaskan pembatasan kewenangan Mahkamah mengadili Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD 1945.
“Dalam hal yang sama, Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009 menyatakan perlu adanya pemberian batas waktu tenggat suatu undang-undang bisa diuji secara formil, yang pada pokoknya dikemukakan dalam pendapat Mahkamah yaitu tenggat waktu 45 hari yang dipandang oleh Mahkamah cukup untuk mengajukan uji formil,” jelas Ibnu kepada Panel Hakim yang terdiri dari Wakil Ketua MK Aswanto didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Y.P. Foekh.
Menurut para Pemohon, pertimbangan tenggat waktu 45 hari setelah undang-undang dimuat dalam Lembaran Negara hanya didasarkan pada perbedaan karateristik pengujian formil dan pengujian materiil. Padahal Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 tidak pernah memberikan batasan waktu. Dengan menggunakan dasar pemikiran Mahkamah ketika memutus Pasal 50 UU MK yang oleh Mahkamah secara tersirat pasal a quodicabut, maka dengan logika hukum pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, pembatasan 45 hari juga tidak diperlukan karena pembatasan 45 hari justru menafikan dasar kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, yang sifatnya limitatif dalam arti hanya apa yang disebut dalam pasal ini sajalah yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
“Bahwa dengan alasan hukum tersebut, terhadap permohonan pengujian formil ini, Mahkamah berwenang mengadili permohonan formil yang diajukan oleh para Pemohon tanpa dibatasi waktu 45 hari setelah undang-undang in casu UU No. 2/2020 diundangkan dalam Lembaran Negara,” ujar Ibnu.
Tidak Sejalan dengan UUD 1945
Selanjutnya, Ibnu menyampaikan pasal-pasal yang diuji para Pemohon secara tersurat dan tersirat tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang diatur oleh UUD 1945. Hal ini didasarkan bahwa beberapa ketentuan a quo memberikan kewenangan absolut kepada Presiden, selain menegasikan DPR dan DPD sebagai lembaga negara untuk menjalankan kewenangannya di bidang legislasi atau pembentukan UU. Selain itu, ketentuan-ketentuan a quo juga memberikan imunitas bagi lembaga dan/atau pelaksana kebijakan serta kebijakan dalam kerangka pelaksaan keketuan-ketentuan a quo dalam lampiran UU 2/2020 jika terjadi penyimpangan atau tindakan penyelahgunaan kewenangan bukan merupakan tindak pidana.
Dengan demikian, lanjut Ibnu, ketentuan-ketentuan a quo mengabaikan prinsip-prinsip hukum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945. Salah satu kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Lampiran UU No. 2/2020 adalah memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto (PDB) sampai dengan Tahun Anggaran 2022, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2, dan huruf a angka 3. Menurut para Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena tiga alasan utama yaitu APBN harus ditetapkan dengan undang-undang bukan jenis peraturan perundang-undangan yang lain, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR dan UU APBN bersifat periodik atau ditetapkan setiap satu tahun.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU No. 2/2020 yang mengatur mengenai pajak yaitu pajak penghasilan dalam hal besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitunganya yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. Menurut para Pemohon, ketentuan a quo menyalahi ketentuan dalam UUD 1945 karena pengaturan mengenai pajak dan pungutan lainnya dinyatakan dalam Pasal 23A UUD 1945 harus menggunakan undang-undang yang disetujui oleh DPR. Sedangkan dalam pengaturan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU No. 2/2020 dinyatakan pengaturan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Batas Waktu Pengujian
Terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyoroti batas waktu pengujian formil bahwa permohonan para Pemohon diregistrasi pada 9 September 2020. “Sementara undang-undang disahkan dan berlaku sejak 18 Mei 2020. Jadi bila dihitung, permohonan diajukan melewati batas waktu 45 hari sesuai dengan yurisprudensi Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009. Selain itu argumentasi yang dibangun para Pemohon untuk mengesampingkan Putusan MK No. 27/PUU-VII/2009, menggunakan argumentasi yang sama ketika MK membatalkan Pasal 50 UU MK. Namun argumentasi tersebut belum dielaborasi lebih jauh oleh para Pemohon,” ujar Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mencermati pasal-pasal yang diuji para Pemohon sebagian besar sama dengan perkara yang diajukan sebelumnya, termasuk juga subjeknya. “Coba dipertimbangkan kembali, apakah para Pemohon akan tetap mengajukan uji formil atau tidak. Tapi ini menjadi hak para Pemohon, meski kami berkewajiban mengingatkan. Hal-hal lain terkait permohonan, tidak saya sampaikan. Karena permohonan ini merupakan pengulangan permohonan sebelumnya,” kata Daniel.
Sedangkan Ketua Panel, Wakil Ketua MK Aswanto menyatakan bahwa secara prinsip permohonan para Pemohon hampir sama dengan permohonan para Pemohon sebelumnya. Kecuali adanya penambahan Pasal 6 ayat (12) UU 2/2020. Selanjutnya Aswanto mengingatkan kepada 12 Pemohon perseorangan perkara ini karena tidak menanda tangani surat kuasa. Aswanto meminta mereka untuk melengkapinya. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: M. Halim