JAKARTA, HUMAS MKRI - Untuk ke-14 kalinya, aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana Perkara Nomor 74/PUU-XVIII/2020 digelar MK pada Senin (21/9/2020) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno tercatat sebagai Pemohon dalam perkara ini. Para Pemohon mendalilkan Pasal 222 yang menyebut, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya” melanggar hak konstitusional keduanya.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat tersebut, Rizal Ramli selaku Pemohon Prinsipal yang mengikuti persidangan secara virtual, menjelaskan bahwa dirinya dan Pemohon II hendak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu 2024. Namun keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu dinilai telah menghambat proses pencalonan para Pemohon.
Rizal mengungkapkan Pasal 222 UU Pemilu telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Pada penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2009 silam, ia mengakui pernah mendapat tawaran dari sejumlah parpol untuk maju sebagai calon presiden, namun dengan syarat diharuskan membayar Rp 1,5 triliun. Menurutnya, keberadaan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% merupakan buah dari demokrasi kriminal yang hanya menguntungkan pihak bermodal.
“Basis dari demokrasi kriminal itu adalah threshold sebesar 20%. Ini terjadi dalam pemilihan bupati yang harus membayar kepada parpol sebesar Rp20 – 40 miliar. Untuk pemilihan gubernur, sebesar Rp100 miliar dan presiden jauh lebih mahal. Tentu saja yang tidak memiliki uang tidak terpilih. Sehingga ketika mereka terpilih, maka mereka lupa tanggung jawabnya terhadap rakyat dan lebih mengabdi kepada bandar yang telah membiayai mereka,” urai Rizal.
Rizal menyampaikan ambang batas pencalonan presiden tersebut hanya menguntungkan pihak yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Selain itu, ia juga menilai aturan dalam Pasal 222 UU Pemilu menghambat tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan dan integritas untuk masuk dalam kompetisi.
Kerugian 4 Parpol
Kemudian, Refly Harun selaku kuasa hukum Pemohon melanjutkan Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara faktual. Menurut para Pemohon, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional kepada partai politik perserta Pemilu untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan partai politik lain. Sepanjang menjadi peserta Pemilu, partai politik berhak mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Namun, lanjut Refly, dengan adanya ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% kursi atau 25% suara berdasarkan hasil pemilu sebelumnya (Pemilu 2014), empat partai politik peserta Pemilu 2019 telah kehilangan haknya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal tersebut karena keempat partai politik tersebut belum menjadi peserta Pemilu dan sama sekali belum memiliki baik suara ataupun kursi dari hasil Pemilu 2014. Keempat partai politik tersebut ialah PSI, Perindo, Partai Berkarya, dan Partai Garuda.
“Kami menyadari sudah banyak permohonan mengenai presidential threshold ini dan beberapa kali ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Karena itu, argumentasi yang baru adalah landasannya fakta yang terjadi pasca pilpres 2019. Yang paling argumentatif menurut kuasa hukum adalah hilangnya hak konstitusional 4 (empat) parta politik untuk mengajukan pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden yakni Partai Berkarya, Partai Garuda, PSI dan Perindo,” jelas Refly.
Tata Cara
Selain itu, lanjut Refly, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengharuskan pasangan calon presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional” bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ia mengatakan, dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden merupakan pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Menurutnya, secara konseptual penafsiran tersebut tidak tepat, karena ketentuan tersebut berkenaan dengan “tata cara”, sedangkan aturan ambang batas merupakan salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, bukan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden.
Lebih lanjut Refly menegaskan, menggolongkan ambang batas sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang tidaklah tepat. Seharusnya, sambungnya, persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy. Hal ini karena UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Berdasarkan putusan MK, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat: (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden.
Kemudian, Refly mengatakan, bahwa MK, dalam beberapa putusan pernah mengubah pandangannya terhadap keberlakuan muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada MK untuk dapat mengubah pandangannya sebagaimana dalam putusan-putusannya terdahulu dan menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para pemohon tersebut, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Y.P. Foekh memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Suhartoyo mengamati Pemohon lupa mencantumkan undang-undang yang diuji dalam uraian kewenangan Mahkamah. “Bisa error in objecto jika tidak dicantumkan pasal dan undang-undang yang diuji nanti,” ujarnya.
Sementara terkait kedudukan hukum, Suhartoyo menyebut ada beberapa syarat agar seseorang bisa menjadi Pemohon di MK. Salah satunya harus memiliki hak konstitusional yang dilanggar dengan adanya sebuah undang-undang.
“(Argumentasi) yang harus dibangun untuk meyakinkan Mahkamah adalah ada bukti permulaan yang cukup bahwa Pemohon akan mengajukan diri sebagai calon presiden. Karena tadi secara a contrario tadi, Pak Refly menyebut ada empat partai yang dirugikan dengan aturan a quo. Jadi yang lebih dirugikan siapa? Dua Pemohon yang hari ini hadir dan akan mencalonkan diri sebagai presiden atau empat partai tadi? Supaya tidak menyebabkan ambiguitas, dalam kedudukan hukum perlu dielaborasi,” urai Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Y.P Foekh menjelaskan bahwa Mahkamah telah memeriksa dan memutus sebanyak 13 permohonan terkait uji materiil ambang batas pencalonan presiden. Ia pun mengingatkan para Pemohon untuk menyusun dalil dan argumentasi yang berbeda dari 13 permohonan sebelumnya. “Hal ini supaya tidak terjadi nebis in idem,” saran Daniel.
Panel Hakim pun memberikan waktu selama 14 hari kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Untuk itu, selambatnya perbaikan permohonan diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada 5 Oktober 2020 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas; Andhini S.F