JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pilkada) pada Senin (21/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Agenda sidang adalah pemeriksaan perbaikan permohonan untuk dua perkara yang digabung dalam satu sidang, yakni perkara Nomor 69/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 70/PUU-XVIII/2020. Permohonan perkara Nomor 69/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh lembaga kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP). Sedangkan permohonan perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh PWSPP (Pemohon I), dan beberapa Pemohon lainnya, yaitu Tresno Subagyo (Pemohon II), Johan Syafaat Mahanani (Pemohon III), dan Almas Tsaqibirru (Pemohon IV).
Dalam permohonan perkara Nomor 69/PUU-XVIII/2020, Pemohon mendalilkan Pasal 201A Ayat (1) dan Ayat (2) Lampiran UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945. Sedangkan para Pemohon perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020 mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Pada sidang kedua ini, Pemohon perkara Nomor 69/PUU-XVIII/2020 yang diwakili Gregorius Limar Siahaan selaku kuasa hukum menyebutkan beberapa poin perbaikan permohonan. Perbaikan di antaranya meliputi kedudukan hukum dan argumentasi kerugian konstitusional yang dialami pihaknya akibat pemberlakuan norma yang diujikan tersebut.
Gregorius menjelaskan kedudukan hukum Pemohoon adalah LSM yang tumbuh dan berkembang secara swadaya yang didirikan dengan tujuan memperjuangkan hak sipil dan politik warga negara, khususnya dalam mencapai pemenuhan hak pilih dan dipilih. Berpedoman pada Peraturan MK, sambung Gregorius, badan hukum publik atau privat yang apabila merujuk pada anggaran dasar perkumpulannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai badan hukum publik. Sehingga dalam hal ini, Pengurus Harian LSM yakni Ketua dan/atau Wakil Ketua dapat mewakili lembaga di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian menurut Gregorius, Pemohon memenuhi persyaratan sebagai pihak yang berhak atau memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian norma tersebut ke MK.
Berikutnya terkait dengan kerugian konstitusional Pemohon, Gregorius menambahkan bahwa hak konstitusional Pemohon telah terlanggar atau berpotensi terlanggar karena hak perjuangan kolektifnya untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara yang terdapat pada sasaran akta pendirian lembaga menjadi terhambat. Sehingga upaya Pemohon dalam mewujudkan tujuannya pada bidang sosial-politik saat tengah terjadinya pandemi Covid-19 telah menghambat Pemohon untuk memperjuangkan hak masyaralat dalam hal pengaduan dan keluhan serta upaya pemenuhan hak memilih dan dipilih dan bahkan pendampingan masyarakat saat pemilihan kepala daerah yang dicanangkan pada Desember 2020 mendatang.
“Akibat pandemi ini sebenarnya masyarakat akan apatis dan lebih peduli pada kesehatannya. Karena masyarakat lebih menunggu keluarnya vaksin Covid-19 dibandingkan penyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, penundaan pemilihan akan menjadi hal yang perlu menjadi pertimbangan,” sampai Gregorius melalui video conference di hadapan sidang panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama anggota panel Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Cabut Permohonan
Sementara itu, para Pemohon perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020 yang juga diwakili Gregorius menyatakan mencabut permohonannya setelah dilakukan diskusi dengan para Pemohon. Pada intinya, para Pemohon menyatakan mencabut pengujian materiil UU a quo pada permohonan yang telah diajukan pada sidang sebelumnya.
“Dengan begitu pencabutan perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020 ini akan disampaikan pada rapat permusyawaratan hakim (RPH),” ucap Hakim Konstitusi Saldi.
Baca Juga:
LSM Paguyuban Warga Solo Uji Pelaksanaan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19
Sebagai informasi, Pemohon perkara Nomor 69/PUU-XVIII/2020 memohonkan agar dilakukan penundaan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 yang direncanakan pada Desember 2020 mendatang, meski tahap-tahap pelaksanaan Pilkada serentak telah dimulai sejak Juni 2020 lalu. Apabila merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease sebagai Bencana Nasional, Indonesia masih berada dalam masa tanggap darurat bencana nasional atas penyebaran Covid-19.
Menurut Pemohon, ketentuan norma a quo dinilai berdampak pada tidak adanya jaminan, perlindungan, dan ketidakpastian hukum bagi warga negara dalam memenuhi syarat sebagai pemilih. Adanya tumpang tindih peraturan pusat dan daerah dalam penanganan pandemi ini berpotensi menyebabkan penurunan jumlah partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara serentak. Di samping itu, pelaksanaan pemungutan suara serentak di tengah pandemi merupakan bentuk ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia.
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020 mendalilkan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada khususnya frasa “perbuatan tercela”. Dalam norma tersebut dijelaskan antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Semestinya, “perbuatan tercela” tidak sebatas dalam pelanggaran hukum pidana saja, melainkan berkaitan dengan norma hukum, agama, kesusilaan, kesopanan, adat, dan etika dalam masyarakat.
Para Pemohon menambahkan bahwa “perbuatan tercela” juga mencakup banyak perbuatan yang dianggap tidak patut dilakukan di dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai ilustrasi, dicontohkan seseorang yang mengajak orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya, tetapi pada Pemilu/Pilkada selanjutnya, yang bersangkutan mengajukan diri sebagai Calon Peserta untuk dipilih dalam Pemilu/Pilkada. Perbuatan ini termasuk juga “perbuatan tercela” karena dalam demokrasi tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa