JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) pada Kamis (17/9/2020) dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Agenda sidang adalah mendengarkan dua Ahli Pemohon yang menyampaikan keterangan secara virtual.
Para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020 ini menghadirkan Imam Supriadi selaku Ahli. Imam mengungkapkan, menjadi prajurit TNI maupun anggota Polri memerlukan kesadaran seseorang untuk mengabdi kepada bangsa dan negara seumur hidup, seperti dilakukan para Pemohon. Hal ini dilakukan bukan hanya pada saat masih aktif berdinas, tetapi juga pada saat tidak berdinas. Pengabdian seumur hidup inilah yang membedakan status para Pemohon sebagai pensiunan peserta Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dengan pensiunan BPJS Ketenagakerjaan.
“Persamaan dari keduanya sama-sama menyandang sebagai pensiunan. Sedangkan perbedaannya, dari sisi dan hak kewajiban. Ketika masih aktif berdinas, para Pemohon sudah kehilangan hak berserikat sebagai bentuk hak asasi manusia dan dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu pada saat pensiun, para Pemohon masih memiliki beberapa kewajiban dan bisa diaktifkan kembali saat terjadi keadaan darurat. Sementara pensiunan BPJS Ketenagakerjaan yang kebanyakan pegawai swasta, ketika masih aktif dapat menjadi anggota serikat pekerja,” papar Imam di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Secara implisit, sambung Imam, pemerintah mengakui bahwa para Pemohon tidak bisa disamakan dengan pekerja pada umumnya. Dengan demikian, para Pemohon perlu diberikan jaminan sosial yang berbeda sebagai bentuk penghargaan terhadap pengabdian seumur hidup para Pemohon sejak memasuki dinas militer hingga meninggal dunia. Anggota militer memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan pekerja sipil. Hal ini dibuktikan melalui Menhankam/Pangab yang menggariskan kebijaksanaan mengenai perlunya dibentuk lembaga asuransi intern Abri yang lebih cocok dikaitkan dengan tugas-tugas TNI dan Polri yang penuh risiko tinggi. Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1971 didirikan Perum Asabri yang mengelola jaminan sosial bagi para prajurit TNI, anggota Polri dan PNS Kementerian Pertahanan dan Polri.
Dikatakan Imam, hal yang wajar bila para Pemohon mendapat kompensasi jaminan sosial yang berbeda karena pengabdian seumur hidup kepada bangsa dan negara. Manfaat yang diterima para Pemohon saat ini dari jaminan sosial adalah santunan kematian untuk para Pemohon dan keluarganya. Selain itu para Pemohon memperoleh manfaat pensiun ke-13. Namun menurut para Pemohon, belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur tata cara pengalihan program tabungan hari tua dan pensiun dari PT Asabri (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan seperti diamanatkan Pasal 66 UU No. 24/2011 menimbulkan ketidapastian bagi para Pemohon.
“Apakah para Pemohon akan menerima manfaat pensiun yang berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan? Sebagai contoh, manfaat pensiun ke-13. Jika jawabannya ya, berarti ada ketidakseragaman program jaminan pensiun yang tidak sesuai dengan keinginan Presiden dan BPJS Ketenagakerjaan untuk mewujudkan jaminan sosial berdasarkan prinsip gotong royong tanpa membedakan profesi warga negara Indonesia. Kalau jawabannya tidak, maka pensiunan BPJS Ketenagakerjaan akan memperoleh manfaat yang sama dengan para Pemohon. Kondisi ini menciderai rasa keadilan bagi para Pemohon karena tidak adanya perbedaan antara pensiunan BPJS Ketenagakerjaan dengan para Pemohon,” urai Imam.
Risiko Tugas Besar
Ahli Pemohon lainnya, Djoko Sungkono menanggapi pernyataan BPJS Ketenagakerjaan (Pihak Terkait) dalam sidang yang digelar pada 23 Juli 2020 menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan permohonan para Pemohon bersifat prematur. “Permohonan para Pemohon sangat beralasan, tidak bersifat prematur dan dapat ditinjau dari sisi manfaat yang selama ini para Pemohon terima selaku peserta PT Asabri (Persero). Kita ketahui Asabri memiliki jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pensiun serta pinjaman uang muka KPR dan pinjaman polis,” kata Djoko.
Disampaikan Djoko, risiko yang besar dari tugas TNI dan Polri memerlukan nilai jaminan sosial yang disebut gugur, yang tidak terdapat pada BPJS Ketenagakerjaan. Jaminan program yang saat ini menjadi fokus permohonan para Pemohon adalah jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi para Pemohon sebagai purnawirawan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, bahwa jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta atau ahli warisnya, dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki masa pensiun, mengalami cacat total atau meninggal dunia.
“Melihat perbandingan manfaat dari program jaminan pensiun yang diberikan PT Asabri (Persero) dengan BPJS Ketenagakerjaan, diketahui bahwa jumlah maksimal gaji pensiun yang diterima PT Asabri (Persero) yaitu 75 persen dari gaji pokok. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan hanya 40 persen dari gaji pokok. Bila diilustrasikand dengan gaji PNS golongan IV A sebesar 5 juta rupiah, maka peserta jaminan pensiun PT Asabri (Persero) akan menerima gaji maksimal 3.750.000 rupiah. Sedangkan peserta pensiun BPJS Ketenagakerjaan akan menerima gaji maksimal 2 juta rupiah. Dari hal ini terlihat perbedaan yang cukup signifikan,” ungkap Djoko.
Di sisi lain, kata Djoko, nilai manfaat santunan kematian yang diberikan PT Asabri (Persero) meliputi prajurit TNI, anggota Polri, PNS Kementerian Pertahanan dan Polri untuk peserta aktif, pensiun dan keluarga. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan terbatas pada tenaga kerja aktif saja. Beberapa karakteristik yang melekat pada peserta PT Asabri (Persero) yang tidak bisa dianggap kecil, seperti adanya pensiun ke-13 yang belum diterapkan BPJS Ketenagakerjaan.
Djoko menerangkan bahwa pada kasus tertentu seperti usia pensiun prajurit tamtama, bintara dan perwira, serta PNS Kementerian Pertahanan dan Polri, apakah bisa sesuai seperti usia pensiun di BPJS Ketenagakerjaan yang setiap tiga tahun dinaikkan satu tahun. Penyelenggaraan jaminan pensiun manfaat pasti seperti untuk tenaga kerja, harus membandingkan antara dana pensiun yang ada dengan kewajiban pembayaran manfaat jangka panjang.
Lebih lanjut, Djoko menyinggung soal iuran program pembayaran pensiun. Dalam Peraturan Pemerintah No. 45/2015 disebutkan iuran program pembayaran pensiun akan ditinjau setiap tiga tahun, dimulai pada 2019. Peningkatan iuran program pensiun BPJS Ketenagakerjaan diprediksi akan tidak mudah dilakukan karena kondisi ekonomi makro belum sebagaimana diharapkan, ketidak setujuan pegawai bahwa iuran pembayaran pensiun dinaikkan, serta kondisi tak terduga lainnya seperti adanya pandemi Covid-19 saat ini.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020 ini adalah Endang Hairudin, M. Dwi Purnomo, Adis Banjere dan Adieli Hulu selaku petinggi TNI menguji Pasal 65 ayat (1) UU BPJS, “PT Asabri (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.”
Para Pemohon mendalilkan pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusionalitas para Pemohon yang berlatar belakang sebagai prajurit TNI dengan risiko penugasan berkaitan langsung dengan kehilangan nyawa, cacat, tewas, atau hilang di daerah operasi, juga risiko mobilitas yang tinggi dari para Pemohon pada saat aktif. Sehingga kemudian ketika pensiun, para Pemohon berharap apa yang sudah telah dinikmati selama ini dari PT. Asabri mengenai program pembayaran pensiun itu tidak teralihkan. Terutama mengenai kerahasiaan jabatan, data pribadi yang menurut para Pemohon sesuai sumpah prajurit tetap harus dijaga. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim