JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (14/9/2020) siang dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. Para pihak hadir secara virtual. Agenda persidangan Perkara Nomor 39/PUU-XVIII/2020 tersebut adalah mendengarkan keterangan pihak DPR dan Pihak Terkait.
Terhadap pokok permohonan para Pemohon Perkara 39/PUU-XVIII/2020 ini, Anggota Komisi III Habiburokhman mewakili DPR berpandangan bahwa Undang-Undang Penyiaran memberikan pengaturan hukum yang menyelenggarakan penyiaran dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 6 Undang-Undang Penyiaran. Mengenai perbedaan aktivitas penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio yang disandingkan dengan layanan Over The Top (OTT) yang menggunakan internet dengan spektrum frekuensi radio yang tidak disiarkan secara serentak dan bersamaan, menurut DPR, hal tersebut tidak relevan dijadikan alasan menyebabkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum mengenai definisi penyiaran.
Menurut DPR, dengan ditentukannya blok penyiaran bagi televisi dan radio oleh pemerintah, maka domain spektrum frekuensi untuk penyiaran secara legal berada pada rentang frekuensi tersebut. Penggunaan frekuensi untuk kepentingan penyiaran dengan menggunakan frekuensi di luar rentang frekuensi tersebut, bukanlah jadi domain pengaturan dalam Undang-Undang Penyiaran. Pada faktanya, entitas baru yang disebut oleh para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran yang menggunakan OTT dalam aktivitasnya menyampaikan data berupa gambar, suara, atau konten video adalah menggunakan spektrum frekuensi radio di luar dari blok frekuensi penyiaran sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah.
“Kegiatan penyediaan layanan OTT merupakan kegiatan usaha yang tidak bersifat eksklusif pada satu layanan yang dapat memberikan berbagai macam layanan, seperti pengiriman data berupa video, rekaman suara, foto dan lain-lain karena menggunakan teknologi internet. Selain itu, yang dapat menyelenggarakan layanan OTT dapat berupa perorangan, badan usaha, badan hukum, sehingga layanan OTT tidak termasuk sistem penyiaran nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Penyiaran,” papar Habiburokhman.
Kemudian, Habiburokhman menerangkan kedudukan hukum para Pemohon. DPR berpandangan bahwa ketentuan pasal yang diuji para Pemohon—dalam hal ini Pasal 2 angka 1 UU Penyiaran—tidak menyebabkan perlakuan yang berbeda. Karena ketentuan tersebut berlaku bagi pelaku penyiaran secara pemancaran dan atau karena transmisi di darat, laut dan antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat siaran tanpa terkecuali.
Apabila para Pemohon beranggapan pasal a quo menyebabkan perlakuan berbeda terhadap pihak yang melakukan penyiaran dengan sarana media internet, menurut DPR, hal tersebut tidak relevan dijadikan alasan adanya hak atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh ketentuan pasal a quo. “Para Pemohon justru telah diberikan hak atau kewenangan dalam melakukan penyiaran berdasarkan ketentuan pasal a quo. Oleh sebab itu menurut DPR, pasal a quo telah menyebabkan perlakuan berbeda terhadap pihak yang melakukan penyiaran, hanya merupakan asumsi para Pemohon,” kata Habiburokhman kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, menurut DPR, para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik kerugian konstitusional yang dialami. Karena tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan para Pemohon dengan ketentuan pasal yang diuji para Pemohon, tidak ada kerugian hak atau kewenangan konstitusional para Pemohon. Berdasarkan uraian-uraian yang disampaikan DPR, maka DPR pada intinya menyerahkan sepenuhnya ke Majelis Hakim MK untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum.
Pihak Terkait
Sementara itu Pihak Terkait, dalam hal ini PT. Fidzkarana Cipta Media (Buruh Online TV) diwakili tim kuasa yang menjelaskan Buruh Online TV merupakan badan usaha yang melakukan penyiaran berita portal web dan digital. Terhadap permohonan para Pemohon yang menguji Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Penyiaran, Pihak Terkait beranggapan bahwa hal itu sangat erat dengan kepentingan Pihak Terkait yang juga melakukan aktivitas pemanfaatan fasilitas internet dalam layanan streaming dalam laman www.buruhonline.tv atau melalui aplikasi penyediaan konten di youtube pada channel buruh online tv.
Kuasa hukum Pihak Terkait, Imam Gozali menjelaskan kaitan Pasal 2 angka 1 Undang-Undang Penyiaran dengan Surat Edaran dari Menkominfo No. 3 Tahun 2016. Surat Edaran dari Menkominfo justru dalam rangka ingin mengatur regulasi layanan aplikasi atau konten melalui internet. Dengan penegasan, memberikan pemahaman dan waktu yang memadai bagi para penyedia layanan OTT untuk menyiapkan segala sesuatunya. Menkominfo juga meminta penyedia layanan untuk tidak menyediakan layanan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menimbulkan konflik, dan sebagainya.
“Apabila permohonan para Pemohon dikabulkan, maka akan berpengaruh kepada hak konstitusional Pihak Terkait. Karena Pihak Terkait hadir memanfaatkan media internet dalam menyajkan program acara konten ketenagakerjaan yang dibutuhkan jutaan pekerja di Indonesia,” ucap Gozali.
Pihak Terkait pun meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan Pemohon serta mengajak Pemohon untuk berpartisipasi dalam perubahan UU Penyiaran yang termasuk ke dalam prolegnas DPR pada 2020.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim ukase hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk. Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.
Menurut para Pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran. Karena tidak terikatnya penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet pada UU Penyiaran, padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, menurut para Pemohon, hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan.
Sebagai rule of the game penyelenggaraan penyiaran, UU a quo mengatur setidaknya enam hal sebagai berikut: (i) asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia; (ii) persyaratan penyelenggaraan penyiaran; (iii) perizinan penyelenggaraan penyiaran; (iv) pedoman mengenai isi dan bahasa siaran; (v) pedoman perilaku siaran; dan yang tidak kalah penting adalah (vi) pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Andhini S.F