JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi memberikan kuliah umum kepada para mahasiswa baru Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) pada Sabtu (12/9/2020) siang secara daring. Tema kuliah adalah “75 Tahun Negara Hukum Indonesia” yang pernah dipublikasikan di media massa nasional terkenal.
“Mengapa hal ini penting? Karena sampai hari ini orang masih berdebat negara hukum Indonesia sebenarnya kemana arahnya? Apa yang membedakan dengan negara-negara hukum lainnya. Saya menulis dengan menelusuri perkembangannya selama 75 tahun dan mengambil sisi di kekuasaan kehakiman,” ujar Saldi.
Kalau mau melihat negara hukum, lanjut Saldi, banyak sisi yang harus dilihat. Bisa dari sisi pembentukan hukum, proses negara hukum dalam konteks relasi antarkekuasaan, dan sebagainya. “Tulisan saya sebenarnya melihat negara hukum dalam konteks bagaimana membangun kekuasaan kehakiman yang ideal,” ungkap Saldi.
Dikatakan Saldi, kalau membaca risalah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 yang diperdebatkan para pendiri negara di awal kemerdekaan hampir tidak ada perdebatan soal negara hukum Indonesia. Namun yang dibahas dan diperdebatkan adalah soal dasar negara, bentuk negara, apakah Indonesia akan menjadi negara republik atau monarki.
“Mengapa kita tidak memilih negara kerajaan atau monarki? Karena secara faktual historis, bentangan empiris sosio kultural kita adalah negara monarki. Kita punya kerajaan-kerajaan besar dan kecil di nusantara. Harusnya kalau kita berpikir linier, kita seperti Thailand atau Malaysia menjadi negara kerajaan. Tapi para pendiri negara tidak memilih model monarki karena terbentur bentangan kerajaan yang banyak di Indonesia, siapa yang mau dijadikan rajanya? Muncul keberatan para pendiri negara yang, diadakan voting, lebih dari 90 persen memilih bentuk negara republik,” papar Saldi.
Saldi menerangkan, soal kata “negara hukum” baru muncul dalam draft Undang-Undang Dasar 1945 yang terkait penjelasan Soepomo bahwa negara Indonesia harus dibangun di atas negara hukum (rechtsstaat), bukan atas kekuasaan belaka. Namun tidak pernah ada orang yang meminta penjelasan soal negara hukum emana yang dimaksud Soepomo, apakah dalam pengertian negara hukum Eropa Kontinental atau dalam pengertian Anglo Saxon. “Tetapi ketika membicarakan lembaga-lembaga negara, bicara Mahkamah Agung, MPR, DPR, perdebatannya dalam sekali,” imbuh Saldi.
Kalau menelusuri beberapa buku yang menulis tentang negara hukum, kata Saldi, ada beda prinsip rule of law dengan rechtsstaat. Salah satunya, rechtsstaat muncul secara radikal karena menantang kekuasaan yang zalim secara radikal dan lebih mengandalkan hukum-hukum tertulis dibandingkan putusan-putusan hakim, sehingga kemudian ada peradilan administratif.
Saldi melanjutkan, setelah Soepomo memunculkan mengenai negara hukum, tidak ada perdebatan soal negara hukum di Indonesia dan juga tidak masuk fase-fase dalam Undang-Undang Dasar. “Coba lihat Undang-Undang Dasar 1945 yang lama yang belum diubah, tidak disebutkan dalam pasal-pasalnya soal negara hukum. Namun hanya muncul dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar yang bukan bagian dari yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai Undang-Undang Dasar pada awalnya. Penjelasan itu baru muncul ketika Soepomo menjadi menteri kehakiman,” ungkap Saldi.
Namun, sambung Saldi, meskipun istilah rechtsstaat tidak disebutkan dalam UUD 1945 sebelum diubah, karakteristik negara hukum muncul dalam UUD 1945 yang lama. Misalnya soal kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagai salah satu ciri negara hukum. Juga disebutkan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, meskipun terbatas. “Kemudian dalam Kontitusi RIS 1949 sudah mulai disebut negara hukum. Selanjutnya dalam UUD Sementara 1950 juga disebut soal negara hukum,” kata Saldi. Singkat cerita, dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang sudah amendemen disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Pembelajaran Orang Dewasa
Lebih lanjut Saldi mengatakan, tidak sedikit mahasiwa lulusan program S-2 dan S-3 ternyata ilmunya tidak banyak bertambah. Jangan-jangan tertinggal dari lulusan program S-1 tapi membaca literatur jauh lebih banyak. Oleh karena program S-2 dan S-3 adalah program mandiri yang ditutorial oleh dosen-dosen yang menjadi pembimbing para mahasiswa program S-2 dan S-3.
“Seberapa mampu kita menambah pengetahuan, tergantung dari mahasiswa program S-2 dan S-3 itu sendiri. Karena ini program pembelajaran orang dewasa, bukan seperti program S-1. Karena kita hanya mengandalkan pengetahuan dari bangku kuliah, tidak cukup. Sekarang harus ada kemampuan untuk belajar sendiri,” jelas Saldi.
“Jangan berpikir bahwa memasuki program S-2 bidang hukum, apakah program Magister Hukum atau Kenotariatan, hanya untuk mengisi masa tumbuh untuk dapat pekerjaan berikutnya. Kalau itu yang dipikirkan, ketika mengambil program S-2 berarti kita sudah punya target yang jelas mengapa kita memilih program S-2,” tambah Saldi.
Saldi melanjutkan, kalau mahasiswa program S-2 dan S-3 ingin punya nilai plus dibandingkan mahasiswa program S-1, kuncinya yang pertama adalah banyak membaca. Kunci kedua, memperbaiki kemampuan berkomunikasi di depan publik tanpa ada rasa gugup, canggung. Kunci ketiga, memperbaiki kemampuan menulis. Kemampuan menulis dengan baik menjadi kunci sukses mereka yang mendalami dunia hukum. Bukan hanya soal menulis tesis, tapi yang paling penting adalah bagaimana menuangkan hasil proses pembacaan terhadap bahan-bahan hukum menjadi tulisan yang baik.
“Salah satu kunci untuk melihat apakah kita berhasil atau tidaknya mengikuti jenjang berikutnya adalah bisakah kita secara sadar mengetahui ada progress kita dalam soal menulis. Bikin tesis atau jurnal tidak menjadi hambatan. Jangan kita menulis hukum tapi bahasanya hanya bisa dipahami sebagian kalangan hukum. Kalau itu terjadi, artinya kita gagal mengkomunikasikan kemampuan kita kepada orang banyak. Kita menulis bukan untuk diri kita tapi menulis untuk orang lain,” urai Saldi. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari