JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menggelar siding pengujian materiil Pasal 19 ayat (2), Pasal 58, dan Penjelasan Pasal 59 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada Kamis (10/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 73/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Agus Wibawa (Pemohon I), Dewanto Wicaksono (Pemohon II), Prihatin Suryo Kuncoro (Pemohon III) dan Andy WIjaya (Pemohon IV). Para Pemohon merupakan pekerja pada perusahaan yang merupakan anak perusahaan PT. PLN dengan fokus usaha pada pembangkitan energi listrik. Pemohon I dan Pemohon II merupakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (DPP SP PJB). Sementara Pemohon III dan Pemohon IV merupakan Ketua dan Sekretaris Persatuan Pegawai PT Indonesia Power Tingkat Pusat (PP IP).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Fandrian Hadistianto selaku kuasa hukum menyampaikan bahwa Pemohon menyatakan bahwa UU a quo berpotensi terdampak terhadap perusahaannya. Pemohon menganggap ketentuan pasal tersebut dapat menimbulkan kerugian konstitusional sebagai pekerja dengan kemungkinan meruginya PT Pembangkitan Jawa Bali dan PT. Indonesia Power secara terus-menerus. Pasalnya Pemohon dapat kehilangan penghidupan yang layak karena naiknya tarif listrik yang secara otomatis dan notoire feiten notorious menyebabkan naiknya seluruh kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Menurut Fandrian, hal tersebut berkaitan dengan dengan diberlakukannya Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA). Menurut para Pemohon, Pasal 19 ayat (2) UU SDA mengenai pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dapat menjadi pengelola sumber daya air hanya sebatas BUMN di bidang pengelolaan sumber daya air, berpotensi menghilangkan pekerjaan dan tempat para Pemohon bekerja, yaitu di bidang usaha penyedia tenaga listrik. Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengelola Sumber Daya Air dapat dilakukan juga oleh BUMN di bidang usaha penyediaan tenaga listrik sebagai upaya pemenuhan energi listrik untuk kepentingan umum”.
Kemudian, lanjut Fandrian, para Pemohon merupakan pekerja yang bekerja di unit PLTA milik perusahaan BUMN di bidang usaha penyediaan tenaga listrik (in casu PT. Indonesia Power dan PT. Pembangkitan Jawa Bali) yang sangat terkait erat dengan pekerjaan pengelolaan sumber daya air. Para Pemohon mengerjakan seluruh tahapan dalam mengelola sumber daya air sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 UU SDA, yang telah dilakukan sejak 1995 sebelum berlakunya UU SDA hingga kini. Menurutnya, menurut para Pemohon, Pasal 19 ayat (2) UU SDA mengenai pengaturan BUMN yang dapat menjadi pengelola sumber daya air hanya sebatas BUMN di bidang pengelolaan sumber daya air, berpotensi menghilangkan pekerjaan dan tempat para Pemohon bekerja yaitu di bidang usaha penyedia tenaga listrik, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengelola Sumber Daya Air dapat dilakukan juga oleh BUMN di bidang usaha penyediaan tenaga listrik sebagai upaya pemenuhan energi listrik untuk kepentingan umum”.
Fandrian menegaskan, seharusnya secara konstitusional penggunaan air untuk pembuatan energi listrik oleh BUMN Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum yang akan digunakan sebagai kebutuhan dasar sehari-hari dalam kehidupan warga negara Indonesia dinyatakan secara tegas dikecualikan dari kewajiban membayar BJPSDA.
Dengan demikian, sambung Fandrian, Pasal 58 ayat (1) huruf a UU SDA bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari termasuk diantaranya pemenuhan kebutuhan listrik oleh BUMN Penyedia usaha Ketenagalistrikan” serta Penjelasan Pasal 59 huruf c UU SDA mengenai kewajiban pembayaran BJPSDA dalam UU SDA kepada pemanfaat sumber daya air untuk kegiatan usaha PLTA bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Dengan menghidupkan kembali pasal dan keberlakuan yang sama, maka Pasal 58 dan Pasal 59 UU SDA telah bertentangan dengan gagasan hukum dan cita konstitusi berupa kewajiban menjunjung hukum dan kepastian hukum sebagaimana termuat dalam UUD 1945,” imbuhnya.
Perbaikan Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta para pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum. “Jadi diuraikan apakah ingin perseorangan atau badan hukum,” ujarnya.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan. Selain itu, Suhartoyo juga menyarankan pemohon untuk memperkuat argumentasi para pemohon. Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Permohonan disampaikan oleh pemohon paling lambat hari Rabu, 23 September 2020 pukul 14.30 WIB. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari