JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 201A Ayat (1) dan Ayat (2) Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 (UU Pilkada) terhadap UUD 1945, Selasa (8/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diregistrasi dengan nomor perkara 69/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh lembaga kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP). Pemohon mendalilkan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.
Pasal 201A ayat (1) UU Pilkada berbunyi, “Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana non-alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 ayat (1).” Kemudian Pasal 201A ayat (2) UU Pilkada berbunyi “Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan Desember 2020.”
Pemohon melalui kuasa hukum Sigit N. Sudibyanto menyebutkan ketentuan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak ditunda pada Desember 2020 mendatang. Tahap-tahap pelaksanaan Pilkada serentak telah dimulai sejak Juni 2020. Namun, merujuk kepada Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease sebagai Bencana Nasional, Indonesia masih berada dalam masa tanggap darurat bencana nasional atas penyebaran COVID-19 pada masa tersebut.
Ketentuan tersebut dinilai berdampak pada tidak adanya jaminan, perlindungan, dan ketidakpastian hukum bagi warga negara dalam memenuhi syarat sebagai pemilih. Adanya tumpang tindih peraturan pusat dan daerah dalam penanganan pandemi ini berpotensi menyebabkan penurunan jumlah partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara serentak. Di samping itu, sambung Sigit, pelaksanaan pemungutan suara serentak di tengah pandemi merupakan bentuk ancaman bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia.
“Ditambah pula belum adanya jaminan dari pemerintah bagi masyarakat Indonesia yang berpartisipasi dalam pemungutan suara serentak akan bebas dari penularan Covid-19,” urai Sigit melalui video conference dari Solo.
Ajakan Golput
Pada kesempatan sidang yang sama, Sigit juga menjadi kuasa hukum permohonan perkara yang diregistrasi dengan Nomor 70/PUU-XVIII/2020. Permohonan ini pun diajukan oleh lembaga kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP, Pemohon I), dan beberapa Pemohon lainnya, yaitu Tresno Subagyo (Pemohon II), Johan Syafaat Mahanani (Pemohon III), dan Almas Tsaqibirru (Pemohon IV). Dalam perkara ini, Sigit menyampaikan para Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada berbunyi, ”Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan berkiut: (i) tidak pernah melakukan pernuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian.”
Sigit menyatakan frasa “perbuatan tercela” dalam pasal tersebut dijelaskan antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Semestinya, sambung Sigit, “perbuatan tercela” tidak sebatas dalam pelanggaran hukum pidana saja, melainkan berkaitan dengan norma hukum, agama, kesusilaan, kesopanan, adat, dan etika dalam masyarakat.
Sigit menyebutkan “perbuatan tercela” juga mencakup banyak perbuatan yang dianggap tidak patut dilakukan di dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan seseorang yang mengajak orang lain untuk tidak menggunakan hak pilihnya, tetapi pada Pemilu/Pilkada selanjutnya, yang bersangkutan mengajukan diri sebagai Calon Peserta untuk dipilih dalam Pemilu/Pilkada.
“Perbuatan ini termasuk juga ‘perbuatan tercela’ karena dalam demokrasi tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Sehingga ia tidak layak dipilih menjadi pemimpin. Dan seseorang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput mencerminkan orang yang apatis terhadap masa depan bangsa Indonesia,” urai Sigit di hadapan sidang panel yang dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra (ketua panel) bersama dua anggota panel Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Kedudukan Hukum
Terhadap Perkara 69/PUU-XVIII/2020 ini, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul memberikan catatan nasihat di antaranya berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon yang merupakan organisasi yang bersifat lokal dengan tujuan tertentu yang dituliskan pada anggaran dasarnya. Manahan mempertanyakan keberadaan organisasi ini berkaitan dengan tugas organisasi dalam kepemiluan terhadap keberlakuan UU Pilkada yang diujikan tersebut, sehingga dapat dilihat secara konkret, hal-hal yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
“Pada permohonan ini Pemohon melihat kalau para pemilih dikurangi keleluasaannya dalam menentukan hak pilih, karena ditundanya (Pilkada) pada Desember 2020 mendatang. Bisakah dijelaskan konstitusionalitas normanya terhadap kerugian yang dimaksudkan,” sebut Manahan.
Sedangkan terhadap perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020, Manahan melihat Pemohon I dan II mengajukan permohonan dalam kapasitasnya sebagai Ketua dan Sekretaris organisasi. Namun pada kesempatan yang sama juga mengajukan diri sebagai perseorangan warga negara, yaitu sebagai Pemohon III dan Pemohon IV. “Apakah hal ini nantinya tidak akan menimbulkan ambiguitas atas kedudukan hukum Pemohon?” tanya Manahan terhadap Sigit selaku kuasa hukum kedua perkara yang menyampaikan permohonan melalui video conference dari Solo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati sistematika permohonan Nomor 69/PUU-XVIII/2020. Dalam pandangan Enny, Pemohon harus menjelaskan dan menuliskan pihak yang menurut AD/ART berhak mewakili kelembagaan di dalam dan di luar pengadilan.
“Jelaskan kedudukan hukum Pemohon sesuai dengan hak dari Pemohon yang diberikan UUD 1945. Jika dilihat dalam ruang lingkup lembaga, belum ada bukti dari anggapan kerugian dan hubungan sebab akibat serta pertentangannya dengan UUD 1945. Uraikan pertentangannya semua,” nasihat Enny.
Terhadap Perkara Nomor 70/PUU-XVIII/2020, Enny menasihati Pemohoan agar memberikan penjelasan dengan uraian yang terperinci sehubungan dengan keberadaan Pemohon karena nama yang sama menyertakan diri sebagai lembaga dan sebagai perseorangan warga negara.
“Jika kedudukan hukum tidak jelas, maka tidak akan bisa dipertimbangkan pokok permohonannya,” terang Enny.
Tahap Pemungutan Suara
Berikutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra menanggapi permohonan perkara Nomor 69/PUU-XVIII/2020. Saldi menerangkan pelaksanaan Pilkada terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Salah satunya adalah pemungutan suara. Adapun saat ini, sambung Saldi, tahapan lain sudah berjalan. Apabila Mahkamah menghentikan tahapan pemungutan suara, Saldi mempertanyakan mengapa Pemohon tidak meminta Pilkada tidak dilaksanakan pada saat ini.
“Apakah hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang baru? Secara umum pengajuan ini harus dipikirkan. Lalu jika Pilkada dihentikan, apa langkahnya? Dan apabila ditunda untuk beberapa waktu kemudian, maka pemungutan suara dilakukan kembali setelah Covid-19. Karena Mahkamah tidak akan mengabulkan permohonan jika permohonan ini akan berakibat pada ketidakpastian hukum,” jelas Saldi.
Setelah menyampaikan beberapa nasihat terhadap Pemohon, Saldi mengumumkan bahwa Mahkamah memberikan kesempatan hingga Senin, 21 September 2020 pukul 13.30 WIB kepada Pemohon untuk menyempurnakan permohonan dan menyerahkannya ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa