JAKARTA, HUMAS MKRI – Mekanisme pengujian materiil Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019) merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Jadi, apabila Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 selaku Pemohon merasa dirugikan atas adanya PP tersebut karena menganggap bertentangan dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, maka dapat mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung. Demikian keterangan DPR yang disampaikan Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) pada Selasa (8/9/2020) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam permohonan Nomor 32/PUU-XVIII/2020 ini, Pemohon menguji Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian terhadap UUD 1945.
Lebih lanjut Misbakhun menjelaskan bahwa penerbitan PP 87/2019 tersebut sejatinya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU Perasuransian yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo. Sehubungan dengan hal tersebut, pada saat itu dirasa perlu untuk menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama.
“Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya badan usaha bersama (asuransi mutual) yang hingga saat ini diakui sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang di Indonesia,” sebut Misbakhun di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Tak Ada Kepentingan Hukum
Berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon, Misbakhun menyebutkan bahwa pasal a quo tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon karena apabila dalam perkara a quo Pemohon mengajukan diri sebagai pemegang polis asuransi, DPR berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah subjek yang dituju oleh ketentuan a quo. Karena yang dimaksudkan adalah badan usaha bersama asuransi (asuransi mutual).
Dalam permohonannya, sambung Misbakhun, Pemohon justru banyak memberikan argumentasi sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB. Jika pada permohonan ini Pemohon benar sebagai perwakilan BPA AJB, perlu pula dibuktikan sebagai badan yang mewakili di dalam ataupun di luar pengadilan. Sedangkan apabila Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan, maka Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian perkara a quo. Pasalnya norma a quo hanya mengatur pendelegasian dari sebuah usaha bersama dalam peraturan pemerintah. “Maka Pemohon bukan subjek dari ketentuan a quo dan tidak ada kepentingan hukum langsung terhadap perkara a quo,” jelas Misbakhun.
Merusak Demokrasi
Sementara itu, Bayu Dwi Anggono selaku Ahli yang dihadirkan Pemohon mengatakan bahwa frasa “ketentuan lebih lanjut” yang didalilkan Pemohon, pada kenyataannya setelah enam tahun sejak diputuskan oleh MK tersebut tidak juga dibentuk norma yang menegaskan keberlanjutan maksud frasa tersebut oleh pembuat undang-undang. Bahkan pembentuk undang-undang, justru menurunkan derajat aturan mengenai perasuransian ini yang pada awalnya diatur dengan undang-undang kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah. Dengan demikian terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mencermati perkara a quo, di antaranya sifat putusan MK dan kewajiban Pembentuk Undang-Undang dalam menjalankan putusan MK.
Dalam pandangan akademisi Universitas Jember tersebut terhadap perkara a quo bahwa dengan tidak dilakukannnya Putusan MK oleh pembentuk undang-undang, maka sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pemohon dapat mengajukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Berkaitan pula dengan kekuatan mengikat dari Putusan MK, ketidaktaatan pada putusan yang telah diucapkan MK tersebut, termasuk pada pembangkangan terhadap konstitusi yang jelas-jelas tertuang dalam UUD 1945.
“Ini tidak bisa dibiarkan berkepanjangan karena bisa merusak demokrasi. Perlu instrumen pemaksa dan alternatif untuk menjaga ketaatan yang dapat digunakan melalui koreksi kembali pada undang-undang atau judicial review,” jelas Bayu melalui video conference dari Jember.
Sebelumnya, Pemohon merupakan Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB tersebut terdiri dari Nurhasanah, Ibnu Hajar, Maryono, Achmad Jazidie, Habel Melkias Suwae, Gede Sri Darma, Septina Primawati, dan Khoerul Huda. Menurut Pemohon, keberadaan Pasal 6 UU Perasuransian telah menimbulkan kerugian konstitusional karena tidak sesuai dengan substansi Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013. Dalam putusan MK tertanggal 03 April 2014 tersebut memerintahkan bahwa ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual Insurance) harus diatur lebih lanjut dengan UU tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan diucapkan. Namun, menurut Pemohon, Pemerintah dan DPR telah melakukan kemunduran dengan mengubah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, terutama Pasal a quo.
Selain itu, Pemohon menilai, ketentuan tersebut bertentangan dengan putusan MK yang mewajibkan dan memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk membentuk UU tersendiri tentang Asuransi Usaha Bersama. Menurutnya, keberadaan PP ini juga bertentangan dan bertolak belakang dengan Anggaran Dasar AJB yang telah ada dan memberikan jaminan eksistensi dan kewenangan bagi para Pemohon. Sebelum menutup persidangan, Anwar menyatakan sidang ditunda Kamis, 24 September 2020 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari