JAKARTA, HUMAS MKRI - Peran penyelenggara pemilihan umum (pemilu) dalam wujudkan pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk kesejahteraan rakyat adalah melaksanakan norma dengan sebenar-benarnya agar pemimpin yang dipilih sesuai dengan hati nurani dan keyakinan rakyat. Demikian ucap Wakil Ketua MK Aswanto dalam Webinar Kajian Ilmiah Dosen Progresif Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum Kota Makassar (Bawaslu Makassar) yang diselenggarakan pada Sabtu (5/9/2020).
Dalam kegiatan bertema “Pemilukada: Kontestasi antara Idealisme dan Pragmatisme” ini Aswanto menguraikan lebih lanjut berkaitan dengan aturan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Menurut Aswanto, penyelenggara pemilu telah membuat regulasi yang tegas dan jelas.
Terhadap peran Bawaslu, diakui Aswanto jika lembaga ini merupakan lembaga yang telah berevolusi. Pada awal keberadaan Bawaslu sebelum adanya undang-undang penyelenggaraan pemilu, aktivitas yang dilakukan Bawaslu tunduk pada rezim pemerintahan daerah (pemda). Sehingga dulu bernama Pengawas Pemilu (Panwas) yang dipilih anggota DPR Kabupaten/Kota. Banyak hal yang tidak maksimal yang dilakukan lembaga karena tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang bersaing di daerah yang bersangkutan. Kemudian untuk melepaskan diri dari elite politik yang berkontestasi di tingkat daerah maka lahirlah undang-undnag penyelenggara pemilu. Sehingga lembaga ini pun mulai mendapatkan independensinya dalam melakukan pengawasan.
“Sehubungan dengan peran ini, sejatinya Bawaslu sangat berperan utama dalam memberikan rekomendasi yang harus ditindaklanjuti KPU. Jika tidak dilaksanakan, bisa jadi KPU dipidanakan. Artinya, regulasi pelaksanaan tugas Bawaslu, baik di provinsi atau kabupaten/kota itu sudah sangat bagus karena UU 10/2016 telah memberikan kewenangan pada Bawaslu. Daya paksa rekomendasi Bawaslu itu sebenarnya kuat, hanya saja bersifat lambat,” jelas Aswanto dalam acara yang turut dihadiri KOmisioner Bawaslu Kota Makassar Abdillah Mustari dan Guru Besar UIN Alauddin Makassar Rasyid Masri melalui Zoom Meeting.
Selanjutnya, Aswanto dalam presentasi berjudul “Pilkada, Kedaulatan, dan Kesejahteraan” mengkaji hubungan pilkada dan kesejahteraan rakyat sebagai mekanisme untuk mencari pemimpin. Semua tahapan pilkada dilaksanakan tidak lain untuk menjaring agar pemimpin yang terpilih sesuai keinginan rakyat dan Bawaslu harus berperan dalam aktivitas ini.
Diakui Aswanto kelak dalam penanganan perkara perselisihan hasil pilkada di MK, rekomendasi Bawaslu dapat menjadi bagian dari pertimbangan Mahkamah. Tentu saja Mahkamah juga harus memperhatikan kontestasi Pemohon dan KPU dengan berpedoman pada aturan-aturan yang telah digariskan oleh MK sendiri.
Berikutnya sehubungan dengan wujud pilkada yang menyejahterakan rakyat, Aswanto menerangkan bahwa sebenarnya kesejahteraan terkait dengan banyak hal. Salah satunya adalah pilkada yang tidak berkepanjangan, termasuk pilkada yang tidak perlu sampai ke MK. Jika sampai ke MK, biaya yang harus dikeluarkan negara banyak sekali. Untuk satu perkara, mulai dari tahap penyelenggaraan pemeriksaan hingga putusan di MK dibutuhkan sejumlah nominal yang harus ditanggung keuangan negara. Meskipun, sambung Aswanto, dalam pengajuan permohonan perkara perselisihan hasil pilkada ke MK, Pemohon tidak dibebankan sepeser pun.
“Begitu penetapan KPU, maka semua pihak sudah bisa menerima hasil yang ditetapkan dan diterima dengan hati lapang. Namun demikian, diharapkan penyelenggara pemilu tetap harus melakukan edukasi untuk masyarakat sehingga semua pihak bisa menggunakan hak pilih dengan benar dan mendapatkan hasil berupa pemimpin yang amanah dan sesuai hati nurani rakyat,” kata Aswanto.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.