JAKARTA, HUMAS MKRI - Tidak ditemukan ketentuan yang mengharuskan para calon untuk mengundurkan diri ketika mereka dinyatakan sebagai calon yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Demikian disampaikan oleh Iwan Satriawan Ahli Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Senin (31/8/2020).
Dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, Iwan mengatakan bahwa presiden tidak diharuskan mengundurkan diri ketika mencalonkan diri pada periode kedua, bahkan seorang incumbent presiden pun tidak dikenakan cuti pada saat ia mencalonkan presiden di periode kedua.
“Padahal secara nature kekuasaan, seorang presiden jika tidak mengundurkan diri atau setidaknya cuti dalam masa kontestasi pemilu, ia berpotensi besar untuk menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dalam memenangkan dirinya secara tidak sah dan melawan hukum,” ujarnya.
Baca juga: Hendak Maju dalam Pilkada, Anggota Dewan Uji Ketentuan Pengunduran Diri
Menurut Iwan, Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada disebutkan melanggar prinsip persamaan dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Ia membandingkan pencalonan presiden untuk periode kedua dan jabatan menteri dalam pilkada, karena kedua jabatan tersebut tidak diharuskan mengundurkan diri pada saat dinyatakan sah sebagai calon pemilihan calon dalam pemilihan. Maka ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada jelas-jelas melanggar prinsip persamaan dan keadilan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Saya mendukung permohonan Pemohon ketika mengatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini tidak memperlakukan anggota DPR, DPRD dan DPD secara adil. Karena pada saat yang sama, ketentuan seperti itu tidak diberlakukan untuk jabatan lainnya seperti presiden dan menteri yang mencalonkan diri dalam pemilu dan pilkada. Secara moral konstitusi dan konsistensi pengaturan norma perundang-undangan, maka sudah sewajarnya Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28 ayat (3),” papar Iwan.
Di akhir keterangannya, Iwan menyampaikan bahwa pengalaman negara lain menunjukkan bahwa ada pembedaan ketentuan terhadap jabatan politik dan non-politik terkait pencalonan mereka dalam pemilihan umum. Menurutnya, perbedaan ini tentu juga dipengaruhi oleh politik hukum masing-masing negara tersebut yang berdaulat dengan hukumnya sendiri-sendiri. Pembentuk hukum di negara itu harus memiliki grand design legislasi yang terintegrasi, adil, dan memberikan kepastian hukum. Ketika lembaga pembentuk hukum gagal melakukannya, maka disitulah peran dari lembaga peradilan.
Tidak Batasi Hak Konstitusional
Kemudian Perludem yang diwakili oleh Fadli Ramadhanil selaku pihak terkait mengatakan bahwa dengan pembatasan politik dan perlakuan yang sama. Ia mengatakan, pengaturan pasal a quo yang menyebutkan calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan untuk menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan merupakan bentuk pembatasan hak dalam politik yang sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi, sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurutnya, apabila pasal a quo dibatalkan oleh MK sebagaimana yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020, hal tersebut akan menimbulkan perbedaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, menghilangkan kesempatan yang sama, dan perlakuan yang tidak adil. Hal ini disebabkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada tidak hanya mewajibkan untuk mengundurkan diri bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD saja, melainkan juga jabatan lain, yakni di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf t menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota TNI, anggota Polri, pegawai negeri sipil, serta kepala desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan dan juga berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.
Iwan juga mengatakan, konstitusi juga mengatur hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun karena bersifat absolut. Ketentuan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 7 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) dan Pasal 28H Ayat (2). Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya. Meskipun tidak mengundurkan diri, anggota legislatif tidak mutatis mutandis mempunyai posisi lebih menguntungkan dari calon lainnya dan dapat memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pemenangan. Hal ini karena pada prinsipnya kelembagaan kekuasaan legislatif tidak memiliki jaringan birokrasi yang dapat ditarik menjadi bagian dari strategi pemenangan.
Sehingga, untuk memastikan pencalonan anggota legislatif dalam jabatan kepala daerah tidak menghambat kinerja kelembagaan legislatif. Sehingga, syarat “mengundurkan diri” dapat diterapkan atau diberlakukan hanya pada jabatan “alat kelengkapan dewan” tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif. Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf f UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana