JAKARTA, HUMAS MKRI - Pancasila adalah ideologi yang paripurna. Demikian sebaris kalimat pembuka yang diucapkan Hakim Kontitusi Arief Hidayat dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang digelar oleh Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional (PAGMNI) pada Sabtu (29/8/2020). Kegiatan yang digelar secara virtual ini mengangkat tema “Posisi Alumni GMNI dalam Menghadapi Tantangan Ideologi Pancasila di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional.”
Arief sebagai salah satu narasumber mengajak para peserta rakernas untuk merenungi secara saksama kondisi terkini bangsa Indonesia. Menurutnya, perang yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini bukanlah perang fisik layaknya perjuangan para pejuang terdahulu namun perang proxy. “Sehingga kita dikaburkan dengan mana yang salah dan benar. Untuk itu, marilah bersama-sama kita menjadikan Pancasila sebagai working ideology,” ajak Arief dalam seminar dalam jaringan (daring/online) yang juga diisi oleh pemateri seperti Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah yang sekaligus Ketua Umum DPP PAGMNI.
Lebih konkret, Arief menjabarkan bahwa dalam sistem trias politika, yang menjalankan kekuasan negara adalah badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun seiring berkembangnya kehidupan tata negara, terdapat pertambahan kekuatan seperti adanya kekuataan dari aparatur sipil negara yang juga dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemangku kekuasaan di negara Indonesia. Memasuki abad ke-20, sambungnya, hadir pula kekuasaan dan kekuatan dari media massa yang dapat memengaruhi kebijakan pemerintah dan membentuk opini publik secara lebih luas terhadap kebijakan-kebijakan yang dicetuskan oleh pemerintah tersebut. Berikutnya, pada akhir abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21 muncul pula kekuatan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga mampu memengaruhi kebijakan negara yang diputuskan kekuasaan yang ada.
“Mereka membentuk opini publik sehingga mau tidak mau oleh tiga cabang kekuasaan yang ada –badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif – itu bisa dipengaruhi. Tetapi ada pula perkembangan menarik yakni lahirnya kekuasaan keenam yaitu kewarganegaraan yang menggunakan teknologi yakni netizen. Jadi kita tidak saja terikat sebagai warga negara setempat dan dunia tetapi juga terikat oleh teknologi,” jelas Arief.
Oleh karena itu, Arief mengajak peserta rakernas untuk mampu menguasai netizen dengan membentuk kekuatan pemengaruh (influencer) dengan mengisi ruang publik virtual dengan konten-konten di FB, IG, dan berbagai platform media sosial berbasis internet lainnya dengan nilai-nilai Pancasila. Diakui oleh Arief, saat ini banyak dari generasi muda yang menguasai teknologi informasi. Sehingga Arief pun berharap generasi muda yang melek teknologi ini dapat membumikan Pancasila, Kebhinekaan, dan NKRI.
“Jika kita mengadakan webinar, paling kita hanya bisa kuasai beberapa audien, tetapi kalau kita jadi pemengaruh (influencer), kita bisa memengaruhi banyak orang dengan konten-konten yang menyuarakan hal yang memuat penguatan ideologi Pancasila yang bersifat paripurna,” tutup Arief dalam penyampaian materi pemantik diskusi dalam rakernas virtual tersebut. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari