JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengamanan surat suara pemilihan kepala daerah (pilkada) harus dimulai dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga ke panitia pemilihan tingkat kabupaten dan provinsi. Peran saksi sangat menentukan dalam pemilihan di tingkat TPS.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto saat menjadi narasumber “Sekolah Partai Bagi Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pilkada Serentak Tahun 2020”. Acara ini diselenggarakan secara daring oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) pada Sabtu (29/8/2020) siang.
Lebih lanjut Aswanto menyatakan MK akan memeriksa semua dokumen para pihak dalam perkara perselisihan hasil suara pilkada. “Tapi, dokumen-dokumen yang kami periksa adalah dokumen-dokumen yang menjadi dasar untuk mempertahankan suara oleh para pihak, oleh Pemohon atau Pihak Terkait yang memang punya kekuatan pembuktian,” kata Aswanto yang menyajikan materi “Hukum Acara Penyelesaian Hasil dan Pengamanan Suara pada Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota secara Serentak Tahun 2020”.
Ditegaskan Aswanto, kalau para pihak termasuk Pemohon ingin mengamankan suara, harus dipegang benar-benar formulir C1 yang asli serta memiliki validitas dan ditandatangani oleh petugas resmi. Karena C1 asli yang nantinya akan dinilai Mahkamah terkait kebenaran penghitungan yang dilakukan KPU.
“Jadi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu harus memiliki formulir C1 yang mempunyai kekuatan pembuktian yang dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten, dalam hal ini petugas di KPPS yang jumlahnya 5 orang. Inilah yang bisa dijadikan alat untuk mempertahankan suara dan mengamankan suara,” jelas Aswanto kepada para calon gubernur, bupati dan walikota, para anggota PDI Perjuangan maupun masyarakat umum yang mengikuti acara ini secara virtual ini.
Fakta menunjukkan seringkali terjadi perubahan suara hasil pilkada. Misalnya, Di TPS ada pasangan calon memperoleh 100 suara yang ditandatangani oleh petugas dan saksi. Begitu sampai di PPK, tinggal 10 suara. “Kalau kasus seperti itu kita bawa ke Mahkamah, kalau Mahkamah yakin kalau C1 pasangan calon itu adalah C1 yang valid, maka Mahkamah pasti akan mengembalikan suaranya,” tegas Aswanto.
Mekanisme Perselisihan Hasil Pilkada
Para pihak yang merasa dirugikan oleh putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada ke MK. Undang-Undang telah menentukan yang bisa mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada adalah peserta pemilu. Peserta Pemilu dalam pilkada adalah pasangan calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota serta wakil walikota. Inilah yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, baik sebagai Pemohon maupun sebagai Pihak Terkait.
“Undang-undang sudah memberikan jaminan pasangan calon dalam pilkada punya hak untuk mengajukan saksi di TPS yang bertugas mengawal penghitungan suara. Bahkan ada syarat-syaratnya, sah atau tidaknya penghitungan suara hasil pilkada harus dikawal betul oleh saksi,” ujar Aswanto.
Kemudian yang menjadi objek permohonan adalah keputusan KPU terhadap hasil akhir untuk menentukan pemenang pilkada yang dimaksud. Seringkali dalam penanganan perkara, Pemohon keliru karena yang dimasukkan sebagai dasar untuk diuji adalah berita acara pleno KPU.
“Padahal sebenarnya bukan berita acara yang jadi objek. Yang menjadi objek permohonan adalah nomor penetapan KPU sebagai hasil akhir dari pilkada. Itu juga dalam rangka mengamankan suara. Karena kalau suara kita dianggap hilang, sehingga kita tidak menerima apa yang diputuskan KPU, maka kita berharap mekanismenya adalah mekanisme di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu, secara cermat menyusun permohonan dalam versi Mahkamah Konstitusi adalah bagian untuk mengamankan suara,” papar Aswanto.
Aswanto melanjutkan, ada problem dalam UU Pilkada yang terakhir diubah menjadi UU No. 10/2016. Salah satu pasal dalam UU tersebut menegaskan bahwa syarat untuk mengajukan permohonan ke MK adalah yang memenuhi persyaratan ambang batas. Misalnya untuk daerah kabupaten/kota yang jumlah penduduknya 250.000 orang, batas maksimal untuk mengajukan permohonan sengketa ke MK adalah kalau selisihnya tidak melebihi 2,5 persen.
Pada penanganan pilkada sebelumnya, ketika ada permohonan yang tidak memenuhi persyaratan formil, Mahkamah selalu mengatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dengan kata lain, tidak ada cara untuk mempertahankan suara yang menurut versi Pemohon yang benar.
“Dalam Peraturan MK yang baru ditegaskan bahwa tidak seperti itu. Sekalipun selisihnya lebih dari 2,5 persen, tetap harus diperiksa pokok perkaranya,” tandas Aswanto.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Foto: Gani.