JAKARTA, HUMAS MKRI – Kepala Biro Humas dan Protokol Mahkamah Konstitusi Heru Setiawan didampingi Panitera Muda II MK Wiryanto, Arsiparis MK Kasiman, menerima kedatangan delegasi Komisi Informasi Pusat (KI Pusat) pada Jumat (28/8/2020) di lantai 11 Gedung MK. Tujuan kedatangan delegasi KIP ke MK adalah melakukan studi banding mengenai Tata Kelola Pendokumentasian dan Klasifikasi Dokumen Sengketa Informasi Publik.
“Kerja sama MK dengan KIP sudah terjalin dengan baik sejak lama, mudah-mudahan dapat terus berjalan lancar,” kata Heru Setiawan menyambut kedatangan Komisioner KIP Arif A. Kuswardono didampingi Sekertaris KIP MH Munzaer serta segenap jajaran pejabat KIP lainnya.
Di awal, Heru Setiawan menerangkan “Sistem Peradilan Berbasis Elektronik di Mahkamah Konstitusi” dengan mengutip pernyataan seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham, “Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran ...”
Di Mahkamah Konstitusi, ungkap Heru, semua dokumen yang dikirim para pihak ke MK maupun dokumen yang diterima Hakim MK dilakukan secara transparan. “Bisa langsung saling konfirmasi, tidak ada yang ditutup-tutupi,” jelas Heru.
Dalam kesempatan itu, Heru juga menjelaskan pengertian integrity, clean, trust worthy yang menjadi pondasi untuk membangun sistem Information Communication Technology (ICT) di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Semua pegawai harus berintegritas, bersih, saling percaya yang semua ini menjadi pondasi untuk membangun sistem ICT di MK.
Selain itu, Heru memaparkan administrasi umum dalam pengembangan e-government MK, di antaranya ada e-office yang semuanya serba elektronik. Termasuk tanda tangan, saat ini tidak ada ‘tanda tangan basah’ di MK namun menggunakan tanda tangan elektronik yang sudah tersertifikasi oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
“Konsep digital adalah prinsip. Teknologi informasi harus disiapkan dengan baik bagi pegawai,” ujar Heru yang juga menyinggung adanya e-planning, e-budgeting, e-procurement dalam pengembangan e-government MK.
Dalam pengembangan e-government MK, ada pula administrasi peradilan, salah satunya memberi dukungan kepada Hakim MK dalam mengadili dan memutus perkara. “Perkembangan teknologi informasi di MK berkembang pesat dan sudah sekitar empat tahun berjalan. Semua permohonan ke MK dilakukan melalui online, meskipun pemohon harus tetap hadir ke MK pada saat tertentu. Misalnya untuk permohonan perselisihan hasil pemilu dan pilkada, pemohon harus hadir tiga hari setelah masa perbaikan permohonan,” ucap Panitera Muda II Mahkamah Konstitusi Wiryanto.
Terkait permohonan online, lanjut Wiryanto, sangat dirasakan prosesnya saat pandemi Covid-19. Permohonan e-perkara berkembang pesat, salah satunya melalui video conference yang sebelumnya dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi. Namun kini, video conference seringkali digunakan untuk melakukan persidangan jarak jauh MK.
“Tetapi terkait persidangan jarak jauh, Hakim MK harus tetap berada dalam ruang sidang. Ini menjadi prinsip, demi menjaga muruah Hakim MK agar tidak hilang,” imbuh Wiryanto.
Permohonan online saat diregistrasi, kata Wiryanto, akan masuk ke e-BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi). Seluruh peristiwa hukum yang terkait perkara akan terekam dalam e-BRPK, yang merekam sejak permohonan masuk, jenis permohonan, pemohonnya sampai putusan. Berikutnya, ada fase e-minutasi yang merupakan digitalisasi berkas permohonan yang masuk sampai putusan MK, bisa diakses di mana saja dan kapanpun.
“Membuka e-minutasi pada dasarnya bukan untuk melihat perkara yang sudah selesai total. Tetapi, sejatinya ada riwayat perkara, hampir sama dengan e-BRPK. E-minutasi berkaitan dengan proses dokumen,” ungkap Wiryanto yang juga menyebutkan Sistem Informasi Penanganan Permohonan (SIMPP) sebagai bagian dari administrasi peradilan.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.