JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan Putusan 40/PUU-XVIII/2020 ikhwal pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), pada Kamis (27/8/2020). Permohonan diajukan oleh Deddy Rizaldy Arwin Gutomo, Maulana Farras Ilmanhuda, Eliadi Hulu, dkk.
MK dalam amar putusan menyatakan permohonan Deddy Rizaldy Arwin Gutomo dkk tidak dapat diterima. “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Pada pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menyatakan bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya sebagaimana telah diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 6 Juli 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada 9 Juli 2020 dan para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan, dan Petitum.
Meskipun format perbaikan permohonan para Pemohon telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK Nomor 6/PMK/2005, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama berkenaan dengan undang-undang yang para Pemohon mohonkan pengujian, Mahkamah menemukan fakta terdapat perubahan undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Pada permohonan awal, para Pemohon menguji Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU 5/2004). Sedangkan pada perbaikan permohonan, para Pemohon menguji Pasal 31 ayat (4) UU 3/2009.
Selain itu, Menurut Mahkamah, kenaikan yang terjadi pada iuran kesehatan tidak serta-merta dapat mengubah tafsir konstitusionalitas Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 menjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon, karena Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 berlaku untuk semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian di Mahkamah Agung, dengan kata lain bukan hanya berlaku terhadap Perpres 64/2020 saja.
Dikatakan Arief, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan para Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan tersebut bersifat final dan tidak boleh diundangkan kembali”, karena terhadap putusan judicial review di Mahkamah Agung, Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 sudah menentukan apabila norma yang dimohonkan pengujian dinyatakan tidak sah sudah secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, yang artinya sudah tidak dapat diberlakukan kembali, terlepas setelah putusan tersebut dibentuk peraturan yang baru yang memiliki pokok permasalahan yang serupa maka hal tersebut adalah persoalan lain yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang berbeda.
Oleh karena petitum para Pemohon sudah sejalan dengan maksud norma Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 maka tidak perlu tafsir lain yang justru dapat menimbulkan ketidakjelasan. Dengan demikian membuktikan bahwa terhadap norma a quo tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas serta telah memberikan kepastian hukum.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon kabur sehingga tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan permohonan para Pemohon lebih lanjut,” tegas Arief. Sehingga, dalam amar putusannya, MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Baca Juga…
Mahasiswa Persoalkan Pengundangan Kembali Norma yang Dibatalkan MA
Pemohon Uji UU MA Bertambah
Sebelumnya, para Pemohon mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 5/2004). Lalu MK menggelar sidang pada Senin (22/6/2020) yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstiusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul. Para Pemohon mendalilkan Pasal 31 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam persidangan, salah seorang Pemohon, Maulana Farras menyatakan bahwa keberlakuan Pasal 31 ayat (4) UU 5/2004 menyebabkan para Pemohon mengalami kerugian konstitusional aktual karena para Pemohon tidak mendapat manfaat dan kepastian hukum atas diundangkannya kembali suatu muatan pasal yang mengatur hal yang sama walaupuntelah dibatalkan, serta kerugian konstitusional potensial yakni apabila para Pemohon mengajukan judicial review di Mahkamah Agung dan permohonan dikabulkan maka ada kemungkinan muatan pasal atau ayat yang telah dibatalkan tersebut berpeluang untuk diundangkan kembali dalam tempo waktu yang sangat singkat.
Farras mengatakan, pada tanggal 5 Mei 2020, Presiden menetapkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (Perpres 64/2020), yang menganulir Putusan Mahkamah Agung Nomor 24/P/PTS/III/2020/2020/7P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Ia menyebut, Perpres a quo ditetapkan hanya berjarak 2 (dua) bulan sejak pembacaan Putusan.
“Pengundangan kembali norma yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam tempo yang singkat berimplikasi pada penurunan marwah Mahkamah Agung,” tegasnya.
Ia mengatakan, berlakunya ketentuan pasal a quo telah menciptakan pemahaman di masyarakat bahwa Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempunyai kekuatan hukum final yang berimplikasi pada muatan pasal, ayat, dan/atau peraturan yang telah dibatalkan tersebut bisa diundangkan kembali dan masyarakat pun bisa mengajukan pengujian sampai kapanpun karena tidak adanya ketentuan Putusan Mahkamah Agung bersifat final serta menyebabkan pula proses peradilan menjadi berbelit-belit dan bertele-tele yang demikian itu bertentangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Sehingga, para pemohon meminta kepada MK untuk Menyatakan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan tersebut bersifat final dan tidak boleh diundangkan kembali.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina