JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dapat diterima. Permohonan diajukan oleh H.R. Abdussalam dan Samsudin. H.R. Abdussalam adalah pensiunan Polri, Dosen, Peneliti, dan Penulis. Sedangkan Samsudin adalan karyawan swasta.
Sidang pengucapan Putusan Nomor 46/PUU-XVIII/2020 digelar pada Kamis (27/8/2020) siang dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Menurut Mahkamah, Pemohon I memiliki kedudukan hukum dan sudah menguraikan secara spesifik hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Sedangkan Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum.
Selanjutnya Mahkamah menanggapi petitum para Pemohon. Pada petitum angka 2, Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 109 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian pada petitum angka 3, Pemohon meminta Mahkamah agar materi Pasal 109 ayat (2) KUHAP diganti dengan materi lain.
“Namun tidak mungkin kedua petitum tersebut diajukan dalam satu kesatuan petitum yang bersifat kumulatif. Karena hal demikian akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda. Dengan petitum yang meminta pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945, menimbulkan konsekuensi pasal tersebut dibatalkan atau dihapus. Sedangkan petitum yang meminta pasal diubah atau diganti menimbulkan konsekuensi hukum bahwa pasal itu masih ada, dengan tambahan rumusan oleh Pemohon dan menjadi muatan materi pasal lain. Ini menyebabkan inkonsistensi antara posita yang banyak menguraikan implementasi norma dengan petitum permohonan tersebut. Sehingga permohonan menjadi kabur,” tegas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pendapat Mahkamah.
Baca Juga…
Hakim Menilai Permohonan Uji KUHAP Mempersoalkan Kasus Konkret
Pemohon Uji KUHAP Bertambah
Sebagaimana diketahui, H.R. Abdussalam (Pemohon I) dan Syamsudin (Pemohon II) melalui dalam pedrkara Nomor 46/PUU-XVIII/2020 melakukan pengujian materiil Pasal 109 ayat (2) KUHAP, “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Pemohon I adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berdomisili di sebuah apartemen. Pemohon adalah mantan penyidik Polri, mantan penyidik kopkamtib dan mantan penyidik tindak pidana korupsi di bawah langsung Jaksa Agung serta seorang peneliti dan penulis buku. Selanjutnya Pemohon membuat laporan kepada Polisi terkait dengan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan atas rumah susun dengan Nomor LP/05/I/2015/Bareskrim tanggal 6 Januari 2015 yang kemudian dilimpahkan kepada Kapolda Metro Jaya dengan surat Nomor B/37/Ops/I/2015/Bareskrim tanggal 7 Januari 2016 perihal Pelimpahan Laporan Polisi.
Terhadap laporan tersebut Penyidik Polda Metro Jaya melakukan proses penyidikan dan telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidik Nomor S.Tap/566/VII/Ditreskrimum, tanggal 13 Juli 2015 tanpa memberi tembusan kepada Pemohon sampai saat ini dan proses penyidikannya pun tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Atas penghentian penyidikan laporan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan praperadilan namun ditolak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 88/PidPraper/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 6 Oktober 2015.
Kemudian Pemohon mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 PK/PID/2016 permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Pemohon menerima tembusan Surat Dirreskrimum Polda Metro Jaya Nomor R/1529/II/2020/Ditreskrimum, tanggal 29 Februari 2020 perihal pemberitahuan penghentikan penyidikan, tanpa surat ketetapan penghentian penyidikan, yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemohon untuk mengajukan pra peradilan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12 Maret 2020. Terhadap permohonan pra peradilan a quo, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 28/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel, tanggal 28 April 2020 menyatakan menolak pra peradilan Pemohon.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Raisa A.