JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan mengenai uji materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) ditarik kembali. Demikian Ketetapan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman pada Kamis (27/8/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang pembacaan ketetapan tersebut, Anwar menyatakan bahwa MK telah menerima surat pencabutan permohonan dari para Pemohon bertanggal 19 Agustus 2020 perihal pencabutan permohonan. Ia melanjutkan MK telah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 24 Agustus 2020 dengan agenda untuk mengonfirmasi perihal pencabutan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf e. Dan para Pemohon membenarkan pencabutan tersebut.
Hal ini berarti para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon.
“Menetapkan Mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” ucap Anwar dengan didampingi delapan hakim lainnya.
Sebelumnya, Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 ini diajukan Din Syamsuddin, dkk. Pemohon mendalilkan bahwa alasan pengujian formil pemohon in casu proses persetujuan DPR terhadap UU 2/2020 dilakukan dalam satu masa sidang yang sama. Ia mengatakan, untuk memaknai “persidangan yang berikut” merujuk kepada peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib, sehingga yang dimaksud “persidangan yang berikut” dapat dimaknai dari Pasal 249 yang mengatur mengenai tahun sidang dan masa persidangan.
Selain itu, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perppu 1/2020, dikarenakan isinya menyangkut UU terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD. Sementara dalam pengujian materialnya para Pemohon beralasan bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal; dan, Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022. Pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau “jantungnya” Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan (revenue) dan rencana Pengeluaran (expenditure).
Menurutnya, format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, hal tersebut justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Bahwa yang dibahas dalam Perppu 1/2020 itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara.(*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Lambang S.