JAKARTA, HUMAS MKRI – Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) yang diajukan oleh Aristides Verissimo de Sousa Mota akhirnya tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya saat membacakan amar Putusan Nomor 2/PUU-XVIII/2020 dalam sidang di MK, Kamis (27/8/2020).
Menurut Mahkamah, dalam permohonan Pemohon terdapat inkonsistensi dan kontradiksi antara posita dengan petitum permohonan. Pada posita permohonan, Pemohon menguraikan masa jabatan hakim agung yang menurut Pemohon harus dibatasi lima tahun dan maksimal hanya menjabat dua periode atau 10 tahun. Tetapi pada petitum permohonan justru meminta ketentuan Pasal 7 dan Pasal 11 UU MA bertentangan dengan UUD 1945.
“Sehingga jika petitum yang demikian dikabulkan, justru akan menimbulkan kekosongan hukum karena ketiadaan pengaturan mengenai syarat-syarat untuk diangkat menjadi hakim agung dan alasan-alasan pemberhentiannya,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pendapat Mahkamah.
Selain itu, sambung Mahkamah, inkonsistensi dan kontradiksi juga terdapat pada bagian kedudukan hukum dengan posita permohonan. Pada bagian kedudukan hukum, Pemohon menyatakan mempunyai hak untuk mengajukan permohonan a quo. Namun pada bagian posita permohonan, Pemohon mengatakan tidak mengalami kerugian materiil dengan adanya Pasal 7 dan Pasal 11 UU MA.
Padahal kerugian hak konstitusional harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 ke MK. Kemudian terkait permohonan agar diberikan putusan yang seadil-adilnya, menurut Mahkamah, hal demikian tidak tepat untuk dikabulkan karena akan melebihi dari hal-hal yang tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum. Terlebih lagi, putusan yang seadil-adilnya hanya diberikan kepada permohonan yang dapat dipahami dan beralasan menurut hukum.
“Berdasarkan pertimbangan seluruh uraian tersebut, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon kabur. Karena permohonan Pemohon kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lagi pokok permohonan,” ungkap Wahiduddin.
Sebagaimana diketahui, Pemohon melakukan uji materiil Pasal 7 UU Mahkamah Agung yang menyatakan, “Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat: a. hakim karier: 1. warga negara Indonesia; 2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; 4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun; 5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban; 6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan 7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim. b. nonkarier: 1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5; 2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun; 3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan 4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Juga Pasal 11 UU MA yang menyatakan,“Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena: a. meninggal dunia; b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; c. atas permintaan sendiri secara tertulis; d. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya”.
Menurut Pemohon, ketentuan dua pasal UU MA tersebut bersifat diskriminatif karena tidak membatasi masa jabatan hakim agung. Namun demikian, Pemohon mendalilkan tidak mengalami kerugian materiil atas berlakunya pasal a quo, meski mempunyai tanggung jawab moral untuk melakukan pengujian permohonan.
Pemohon berharap dengan diterimanya permohonan tersebut, maka perlu dilakukan pengaturan masa jabatan hakim agung adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode sehingga masa jabatan hakim agung maksimal adalah sepuluh tahun. Bagi hakim agung telah bertugas lebih dari sepuluh tahun, maka terhitung dikeluarkannya putusan ini harus berhenti dari jabatannya. Sedangkan hakim agung telah bertugas lebih dari lima tahun tetapi kurang dari sepuluh tahun, maka masa tugas yang bersangkutan akan berakhir ketika telah mencapai sepuluh tahun.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.