JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ketetapan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 ini dibacakan dalam sidang pembacaan ketetapan pada Kamis (27/8/2020).
Pada persidangan tersebut, Ketua MK Anwar Usman menyampaikan bahwa Majelis Hakim mengabulkan penarikan kembali Permohonan Gunawan Simangunsong, Russel Butarbutar, Benny Irfan Siahaan, Muhammad Arsjad Yusuf, Nurharis Wijaya, Efer Koritelu, dan Sarah Febrina tersebut. Anwar mengatakan Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan tersebut melalui Sidang Panel pada tanggal 13 Juli 2020 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Namun, lanjutnya, pada tanggal 18 Agustus 2020 dan para Pemohon setelah sidang panel perbaikan permohonan tersebut mengajukan surat bertanggal 18 Agustus 2020, perihal Pencabutan Permohonan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 dengan alasan adanya ketidaksesuaian antara posita dan petitum atau adanya perbaikan menyeluruh dari substansi permohonan.
“Terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, ‘Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan’ dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali,” tegas Anwar.
Sebelumnya, para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE yang multitafsir sangat mudah dipakai untuk melaporkan seseorang kepada penegak hukum. Dalam pokok permohonannya, Gunawan Simangunsong selaku pemohon I, menjelaskan bahwa dirinya merupakan salah satu kuasa hukum dari 12 mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) yang dicuti-akademikkan atau nilainya dihapus secara sepihak oleh Rektor ISTN. Hal tersebut terjadi karena 12 klien Pemohon tersebut terlambat melakukan pembayaran uang kuliah. Pemohon pun mengirimkan surat kepada Rektor ISTN dengan Nomor 17/BGP/III/2019 perihal Somasi dan Undangan Musyawarah tertanggal 18 Maret 2019 dan Surat Nomor 21/BGP/III/2019 perihal Somasi dan Undangan Musyawarah II tertanggal 21 Maret 2019 (Bukti P-8) yang pada intinya mempertanyakan keputusan Rektor ISTN yang mencuti-akademikkan Klien Pemohon I secara sepihak. Atas somasi tersebut, Pemohon I dilaporkan ke Polisi oleh Rektor ISTN dengan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti karena memberitahukan laporan dugaan penyalahgunaan wewenang Rektor ISTN melalui pesan Whatsapp.
Padahal setelah melalui mediasi oleh tim dari Kemenristekdikti, laporan terhadap Pemohon I akan dicabut. Berdasarkan hasil mediasi tersebut, hak-hak Pemohon I yang secara sepihak oleh Rektor ISTN telah dicuti-akademikkan atau nilainya dihapus karena terlambat melakukan pembayaran uang kuliah pun sudah dikembalikan. Namun Pemohon I menerima surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan dari kepolisian sejak 3 bulan setelah mediasi berakhir. Sehingga, Pemohon I merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya secara faktual karena diberlakukannya pasal a quo dan Pemohon lainnya yang merupakan kuasa hukum dari Pemohon I merasa berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya karena hal tersebut. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim