Pelindo Didorong Berbagi Bandar Kecil
Meski disambut demo ribuan karyawan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) di berbagai kota pelabuhan di Indonesia, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pelayaran akhirnya diketuk DPR. Benarkah UU baru ini merugikan masyarakat? Atau, ini sekadar potret ketidaksiapan PT Pelindo kehilangan peran monopoli?
PT PELINDO harus belajar dari PT Pertamina. Dulu, BUMN pertambangan itu menjadi regulator sekaligus operator dalam usaha migas. Tapi, dengan UU Migas yang diketuk tujuh tahun lalu, peran regulator dilepas. Artinya, Pertamina harus bersaing secara sehat dengan pemain atau operator bisnis migas lain. Masuknya kompetitor itulah yang membuat Pertamina tertantang untuk maju dan terus berbenah.
Pemikiran seperti itulah, barangkali, yang menjadi harapan Ketua DPR Agung Laksono, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, direktur utama PT Pelindo I, II, III, dan IV, serta 10 fraksi DPR saat mengesahkan RUU Pelayaran menjadi UU Pelayaran baru, merevisi UU yang lama No 21 Tahun 1992.
Tekanan ribuan anggota Serikat Pekerja Pelindo di luar gedung DPR di Senayan, Selasa pagi itu (8/4), tidak menyurutkan jalannya rapat paripurna. Dengan sahnya UU Pelayaran itu, otomatis Pelindo hanya berhak menjadi operator pelabuhan. Pelindo bukan lagi regulator pelabuhan. Perusahaan swasta kini diperbolehkan menjadi pengelola (operator) pelabuhan, seperti halnya Pelindo yang selama ini memonopoli pelabuhan.
Entah karena takut bersaing atau takut kehilangan "kekuasaan", BUMN kepelabuhanan itu menolak pemisahan fungsi regulator dan operator. Dalam UU Pelayaran baru, pemerintah membentuk Badan Pengelola Pelabuhan (BPP) sebagai regulator di pelabuhan komersial. Sedangkan pelabuhan nonkomersial akan dikelola Unit Penyelenggaraan Pelabuhan (UPP). Sementara, fungsi operator diberikan kepada perusahaan BUMN (Pelindo), BUMD, atau perusahaan swasta.
Dalam RUU Pelayaran, pelabuhan yang berstatus komersial adalah pelabuhan besar (total sekitar 25 pelabuhan) yang saat ini dikelola Pelindo. Sebaliknya, status nonkomersial berlaku untuk pelabuhan-pelabuhan skala kecil (lebih dari 100 pelabuhan). Namun, tidak tertutup kemungkinan, pelabuhan kecil bisa menjadi pelabuhan besar sehingga mengundang investor untuk menjadi operator.
Menhub Jusman Syafii Djamal menegaskan, kehadiran UU Pelayaran baru dimaksudkan untuk mendorong terciptanya persaingan usaha yang lebih sehat. "Intinya, RUU Pelayaran ini membawa perubahan baru, yakni mengakhiri monopoli PT Pelindo. Fungsi regulator kembali ke pemerintah dan PT Pelindo tetap sebagai operator," kata Jusman.
Dirjen Perhubungan Laut Effendi Batubara menegaskan, tidak benar sinyalemen bahwa semangat UU Pelayaran baru adalah mengakomodasi kepentingan asing. Secara umum, menurut Effendi, UU Pelayaran hanya mengambil alih peran regulator yang sebelumnya dipegang Pelindo.
"Dulu Pelindo bisa memberikan pengusahaan kepada swasta untuk menjadi operator terminal. Sekarang kewenangannya diambil alih otoritas pelabuhan," jelasnya.
Dia mencontohkan, selama ini PT Pelindo II di Pelabuhan Tanjung Priok bisa memberikan pengusahaan kepada pihak lain yang bertindak sebagai operator terminal, seperti JICT, TPK Koja, dan MTI. Fungsi operator Pelindo pun tidak akan tergerus karena swasta hanya boleh menjadi operator di pelabuhan-pelabuhan yang belum dikuasasi Pelindo.
"Tetapi untuk daerah (pelabuhan) yang belum dimasuki Pelindo, dia harus bersaing dengan swasta lain," kata Effendi.
Hilangnya persaingan usaha yang sehat di pelabuhan diungkapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Saat ini KPPU meminta Pelindo dan enam asosiasi menghentikan praktik kartel di Lini 2 Pelabuhan Tanjung Priok. Sebab, pada Maret 2007 mereka telah menandatangani kesepakatan tarif pengangkutan dari restricted area (yang dikuasai Bea Cukai) ke gudang-gudang.
"Ketetapan tarif telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy)," ujar Direktur Komunikasi KPPU Junaedi kemarin.
Menurut Junaedi, tarif pergudangan harus ditentukan berdasarkan nilai pelayanan yang diberikan. Misalnya, dari segi waktu, kecepatan, maupun kualitas. Biaya pergudangan sulit disamakan karena setiap barang memerlukan perlakuan berbeda.
Kesepakatan tarif itu, kata Junaedi, bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999. "Kami minta penetapan tarif ini dihentikan supaya terjadi persaingan antaroperator gudang," tambahnya.
Dalam UU Pelayaran baru, lanjut dia, pemerintah akan mengaudit PT Pelindo I, II, III, dan IV dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Audit ini, menurut Wakil Ketua Komisi V DPR Taufik Kurniawan, dilakukan untuk menghitung aset Pelindo.
"Aset ini nanti dihitung untuk memperkirakan langkah yang dilakukan, karena akan ketahuan bagian mana yang tidak produktif," ujarnya.
Menurut dia, audit terhadap Pelindo tersebut justru menjadikan BUMN kepelabuhanan itu lebih sehat. Selain itu, audit tersebut menghindarkan dari praktik-praktik yang merugikan keuangan negara. Taufik menengarai saat ini masih terjadi praktik seperti itu.
"Karena tidak ada pemeriksaan, penggunaan dana di Pelindo pun tidak jelas. Undang-undang ini juga akan menghentikan praktik monopoli karena operator lain dipersilakan masuk," jelasnya. (agus wirawan/el)
Ancam Kepentingan Bangsa
Serikat Pekerja BUMN Bersatu menilai pengesahan UU Pelayaran akan membuka kesempatan bagi investor asing untuk menguasai sektor kepelabuhanan nasional yang sangat strategis. Hal itu akan sangat merugikan kepentingan bangsa dan karyawan Pelindo.
Ketua Umum SP BUMN Bersatu F.X. Arief Poyuono mengatakan, disahkannya UU Pelayaran itu hanya membuat orang-orang kecil menderita. Selain itu, kini ada kesan bahwa pekerja selalu dibohongi. Tapi, kali ini buruh jauh lebih risau karena di dalam UU Pelayaran, Pelindo akan disamakan dengan swasta dan asing.
"Kita sebagai pekerja selalu diimingi-imingi, namun yang di atas tidak pernah ada komitmen untuk menepatinya." ujarnya.
Supriyadi, wakil ketua SP BUMN Bersatu, mengungkapkan, pihaknya tidak melarang pemerintah membuka keran investasi asing. Untuk itu, dia mengingatkan agar peluang tersebut bukan untuk menjual aset-aset negara. Namun, pada RUU Pelayaran baru pemerintah cenderung memberi jalan bagi asing untuk membeli. "Ini sangat merugikan bangsa dan karyawan," tegas pria yang juga karyawan Pelindo itu.
Menurut Supriyadi, saat ini SPPI dan elemen buruh belum terlambat menyikapi RUU Pelayaran. Upaya penolakan mereka lakukan sejak 1999. Pihaknya juga sudah memberikan konsep untuk penyempurnaan UU Pelayaran. (wir/el)
Sumber www.indopos.co.id
Foto www.havendenhelder.nl