JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 154 huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Rabu (26/08/2020). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Eko Sumantri dan Sarwono selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia.
Pada persidangan, Eko Sumantri menjelaskan Bahwa Pasal a quo, menimbulkan multi tafsir dalam menentukan usia pensiun bagi pekerja/buruh dalam suatu perusahaan, dimana pengusaha dapat menafsirkan usia pensiun pekerja/buruh tersebut sesuai dengan keinginan dan kehendak dari pengusaha itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan batasan usia pensiun yang termaktub di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2010-2012 beserta perubahannya antara serikat pekerja PT. PLN (Persero) dengan PT. PLN (Persero), usia pensiun seorang pekerja terdapat perbedaan aturan antara pekerja satu dengan pekerja yang lainnya. Sebagian pekerja pensiun di usia 46 tahun dan sebagian lagi pensiun di usia 56 tahun. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 15 Surat Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 1337.K/DIR/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 379.K/DIR/2010 tentang Human Capital Management System, sedangkan berdasarkan UU 40/2004 pada Pasal 39 secara jelas menyebutkan “Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan perundang-undangan.”
Padahal, lanjutnya, mengenai usia pensiun secara tegas tertuang di dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang merupakan Petunjuk Pelaksanaan Pasal 41 ayat (8) dan Pasal 42 ayat (2) UU 40/2004, yang menyatakan: PP No. 45/2015: Pasal 15 ayat (1): “untuk pertama kali usia pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun.” Kemudian, Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2019, usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun.
“Sementara Pasal 15 ayat (3) berbunyi; “usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai usia pensiun 65 tahun (enam puluh lima) tahun.”tegasnya.
Eko mengatakan karena terdapat perbedaan usia pensiun pegawai PT. PLN (Persero) yang termaktub di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tahun 2010-2012 PT. PLN (Persero), surat Keputusan Direksi PT. PLN (Persero), dan peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini menimbulkan diskriminasi terhadap usia pensiun di antara para pegawai. Oleh karena alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan Pasal 154 huruf c UU Ketenagakerjaan, sepanjang frasa “perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama” dihapuskan atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menyarankan pemohon untuk memperkuat legal standing Pemohon. “Anda harus memperkuat di dalam Legal Standingnya, ya. Kalau misalnya mewakili serikat pekerja, tentu ada anggaran dasar, anggaran rumah tangganya. Kebetulan Pemohon ini Ketua Umum dan Sekjen, saya kira itu sudah representasi dari serikat pekerja. Dari sebagai karyawan, apakah aturan mainnya harus izin atasan atau tidak perlu? Kalau misalnya mewakili pribadi, ini pribadi, ya?” kata Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon untuk mencermati petitum. Menurut Suhartoyo, pada petitum poin pertama, Pemohon meminta kepada MK agar menyatakan inkonstitusional. Sedangkan petitum di angka 3-nya berbeda, pemohon minta diberlakukan secara bersyarat.
“Ini kan petitum yang saling kontradiksi. Di satu sisi Saudara minta norma itu hilang, ya, kan? Tidak diberlakukan, inkonstitusional karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kan berarti sudah hilang nanti, kan?,” kata Suhartoyo.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.