JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang dengan agenda Perbaikan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Rabu (26/08) pukul 15.00 WIB. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad.
Mohammad Kilat Wartabone adalah bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Sedangkan Imran Ahmad adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota…” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja. Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Aan Sukirman selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan makna yang termuat dalam frasa Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah. Tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenang yang sama sebagai kepala daerah. Padahal dalam satu periode masa jabatan praktik ketatanegaraan menunjukkan adanya dua subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah, yakni gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, begitu juga walikota dan wakilnya yang menjadi pejabat kepala daerah karena pasangan gubernur, bupati, walikotanya diberhentikan sementara atau tetap dalam rentang waktu yang tidak secara limitatif diatur batas-batasnya sepanjang masih dalam satu periode masa jabatan.
Dengan pemaknaan yang dibatasi tersebut, lanjutnya, berpotensi terjadi penyelundupan hukum berupa ruang bagi sang wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah untuk mengulur-ulur proses pengusulan untuk ditetapkan menjadi kepala daerah pengganti secara definitif agar sisa masa jabatannya kurang dari dan/atau tidak mencapai setengah masa jabatan.
Kemudian Aan mengatakan Pemohon juga memperkuat kedudukan hukum Pemohon pada halaman 5. Selanjutnya, para Pemohon hendak menguji pasal tentang penetapan syarat pencalonannya memberlakukan norma yang unequal treatment atau mengistimewakan kandidat dengan jabatan tertentu atau wakil bupati yang menjabat sebagai kepala daerah. Menurutnya, hal tersebut tidak proporsional dan tidak memenuhi rasa keadilan serta memberi celah penyelundupan hukum, sehingga penyelenggaraan Pilkada Tahun 2020, khususnya di Kabupaten Bone Bolango akan berpotensi tidak berlangsung secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).
Selain itu kata Aan, Mahkamah dalam pertimbangannya pernah menegaskan setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. “Artinya jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan,” kata Aan.
Baca Juga:
Manakala Satu Periode Masa Jabatan Kepala Daerah Dipermasalahkan
Sebelumnya, Pada sidang pendahuluan yang digelar rabu (12/08), para Pemohon berpendapat bahwa dalam rentang waktu 5 tahun jabatan kepala daerah dapat diisi oleh gubernur/bupati/walikota dan dapat pula diisi oleh wakilnya dalam kondisi gubernur/bupati/walikota berhalangan atau diberhentikan sementara atau tetap. Dengan demikian, ada dua subjek hukum yang memenuhi kriteria “pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/walikota” sebagaimana frasa yang diatur dalam pasal a quo, yakni kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Menurut para Pemohon, tafsir terhadap ketentuan pasal a quo menyatakan subjek hukum yang dianggap telah menjabat satu periode pada Periode 2010-2015 adalah bukan pejabat Bupati Hamim Pou, tetapi almarhum Abdul Haris Nadjmudin. Pemaknaan dengan tafsir dari ketentuan pasal a quo bahwa subjek hukum yang dianggap telah menjabat satu periode adalah hanya “yang pernah menjabat sebagai Bupati” tidak mencakup “yang menjadi Pejabat Bupati” telah merugikan atau setidaknya mengurangi hak konstitusional para Pemohon selaku bakal calon yang akan berkontestasi merebut kursi Bupati Bone Bolango 2020.
Selain itu, potensi kerugian lainnya adalah jika para Pemohon menjadi Bupati Terpilih Periode 2021-2026 akan dirugikan dengan cara penghitungan masa jabatan kepala daerah menurut ketentuan pasal a quo apabila hanya setahun menjabat lantas diberhentikan sementara tetapi tetap saja dihitung telah satu periode masa jabatan. Sebaliknya wakil bupati yang menjadi pejabat bupati tidak dihitung sebagai satu periode masa jabatan.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.