JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/8/2020) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Dalam persidangan yang dilaksanakan pada pukul 09.00 WIB ini, Pihak DPR berhalangan hadir.
Sedangkan pihak Pemerintah diwakili Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli memberikan keterangan. “Permohonan para Pemohon sebenarnya tidak meminta tafsir atas kata dan atau frasa dari ketentuan a quo yang dianggap tidak jelas dari norma Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran, namun meminta penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atas definisi penyiaran dalam pasal a quo,” kata Ahmad yang menyampaikan keterangan Pemerintah secara virtual kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Menurut Pemerintah, penambahan norma baru dalam Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran dalam petitum para Pemohon akan menimbulkan subjek dan objek hukum baru dalam penyelenggaraan penyiaran. Ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran merupakan norma definisi yang dipergunakan dalam UU Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya. “Sehingga apabila permintaan penambahan norma baru atas Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran dikabulkan, maka sama saja artinya dengan membentuk Undang-Undang Penyiaran baru. Karena akan mengubah struktur dan makna Undang-Undang Penyiaran secara keseluruhan beserta peraturan pelaksanaannya,” ujar Ahmad.
Pemerintah berpandangan, permohonan para Pemohon tidak sesuai dengan persyaratan positive legislature oleh Mahkamah Konstitusi. Petitum para Pemohon bertujuan mengubah UU Penyiaran dengan cara menambah norma baru tanpa melalui mekanisme politik hukum antara pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Pemerintah, melainkan melalui persidangan di MK. Berdasarkan Putusan MK No. 48/PUU-IX/2011 dan pandangan dari Martitah dalam Bukunya “Mahkamah Konstitusi dari Negative Legislature ke Positive Legislature?” harus ada alasan-alasan untuk dapat diberikan putusan yang bersifat positive legislature dari Mahmakah Konstitusi.
Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian di atas, Pemerintah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai permohonan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam fungsi sebagai The Guardian of Constitution karena meminta norma baru dan posita para Pemohon sama sekali tidak menunjukkan dalil-dalil yang dapat dipertimbangkan untuk dapat diberikan putusan yang positive legislature.
“Sudah sepatutnya Yang Mulia para Hakim Konstitusi menolak permohonan para Pemohon atau setidak-tidaknya secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ahmad.
Selain itu, Pemerintah berpandangan, akan menimbulkan pemaknaan yang kekeliruan apabila menyeragamkan pengaturan atas jenis-jenis media, hanya karena di antara jenis-jenisnya yang berbeda dapat menyampaikan bentuk informasi yang sama. Landasan filosofi dibentuknya UU Penyiaran dengan tujuan untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah sehingga perlu dibentuk sistem penyiaran nasional. “Penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab,” ujar Ahmad.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon No. 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur (Pemohon) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon tediri atas Taufik Akbar dkk. Para Pemohon melakukan pengujian materiil UU Penyiaran Pasal 1 angka 2, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Andhini SF