JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU LPMPUTS) pada Senin (24/8/2020). Permohonan ini diajukan oleh Kamal Barok, Nurul Fadhilah, Erika Rovita Maharani, Melita Kristin BR, Helli Nurcahyo, dan M. Suprio Pratomo. Perkara yang teregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 54/PUU-XVIII/2020 ini menguji Pasal 34 ayat (2) UU LPMPUTS yang yang menyatakan, “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.” Kemudian Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS yang menyatakan, “Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut oleh keputusan Komisi.”
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Misbahuddin Gasma mengatakan bahwa Para Pemohon menambahkan pengujian terhadap Pasal 34 ayat (1) UU LPMPUTS, sementara sebelumnya hanya pengujian Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS. Selain itu, Pemohon juga menambahkan batu uji permohonan, yaitu Pasal 28I Ayat (2), dan Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebelumnya, Pemohon menggunakan batu uji Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1)UUD 1945. Selain itu, para Pemohon juga melakukan perbaikan pada petitum.
Dengan demikian, maka pasal-pasal yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU LPMPUTS. Sedangkan sebagai batu ujinya yaitu Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
“Penambahan batu uji tersebut dilakukan karena KPPU merupakan lembaga quasi peradilan, atau semi peradilan, atau quasi judicial karena mempunyai wewenang mengadili dan menjatuhkan putusan, meskipun bukan sebagai institusi peradilan,” jelas Misbahuddin Gasma di hadapan Ketua Panel Hakim Suhartoyo.
Namun dalam hal ini, lanjut Misbahuddin, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) termasuk dalam bagian badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya, kedudukan KPPU sebagai penjaga pilar demokrasi ekonomi yang berkeadilan berdasarkan Pancasila sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) perlu diperkuat kedudukannya secara ketatanegaraan dan organisasi yang seharusnya didukung oleh sekretariat yang bersifat tetap serta memiliki kemandirian dan kapasitas dalam tatakelola oranisasi kepegawaian dan pengelolaan anggaran.
Menurut Misbahuddin, faktanya hal tersebut belum dapat direalisasikan oleh karena ambiguitas Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2), serta ayat (4) UU LPMPUTS. Frasa “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan tidak adil sebagaimana bentuk sekretariatan pada badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 di mana sekretariat KPPU bukan berkedudukan sebagai sekretaris jenderal. Selain itu Pasal 34 ayat (2) UU LPMPUTS juga tidak memberikan landasan hukum yang kuat dalam pembentukan unit kerja sebagai unsur pelaksana yang membidangi urusan teknis persaingan usaha.
“Tanpa adanya unsur pelaksana dalam wadah kedeputian, jelas akan menghambat optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi KPPU, terlebih di era ekonomi digital yang berkembang dengan cepat dan perilaku dugaan pelanggaran praktik monopoli dan persaingan secara tidak sehat yang semakin kompleks. Frasa keputusan komisi dalam Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang seharusnya merupakan kewenangan Presiden Republik Indonesia selaku pemegang Kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tegasnya.
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kebuntuan dalam proses pengaturan kelembagaan dan kepegawaian sekretaris KPPU yang seharusnya terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian ASN. Para Pemohon tidak memperoleh pengakuan jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan perlakukan yang sama di hadapan hukum, serta bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas status kepegawaian, hak keuangan, hak pengembangan karir, dan hak pengembangan kompetensi sebagaimana ASN pada sekretariat jenderal badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945.
Baca Juga…
Menguji Eksistensi Kelembagaan dan Kesekretariatan KPPU
Pada persidangan sebelumnya, para Pemohon yang merupakan pegawai pada KPPU dalam permohonannya mendalilkan hak konstitusiona mereka telah dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal yang diujikan. Para Pemohon mendalilkan hak untuk mendapat jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan tugas selaku pegawai KPPU terlanggar karena adanya permasalahan kelembagaan KPPU. Hal tersebut disebabkan karena ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU LPMPUTS membawa implikasi terhadap status kelembagaan KPPU yang belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian nasional.
Menurut Pemohon, pengaturan kelembagaan sekretariat KPPU dalam UU LPMPUTS tidak memberikan kepastian Hukum sebagaimana pengaturan kelembagaan kesekretariatan pada lembaga non struktural lain yang sama-sama bersifat independen. Tidak satu pun dalam UU LPMPUTS yang secara eksplisit menjelaskan perihal pengangkatan pimpinan sekretariat dan status pegawai atau pegawai sekretariat maupun pegawai sekretariat jenderal. Selain itu, pemohon menilai frasa “sekretariat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU LPMPUTS dapat menimbulkan multi tafsir karena menggunakan huruf “s” kecil, yang dapat ditafsirkan secara fungsi maupun ditafsirkan secara jabatan. Dalam kaitannya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komisi sebagai lembaga negara independen yang bertanggung jawab kepada Presiden, sudah seharusnya frasa “sekretariat” ditafsirkan secara fungsi, sehingga harus dimaknai sebagai “Sekretariat Jenderal”.
Lebih lanjut, Pemohon beranggapan, frasa “keputusan Komisi” tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan ketentuan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengatur susunan organisasi, tugas, dan fungsi kesekretariatan lembaga negara termasuk pengaturan kepegawaian. Akibat hukum dari tidak adanya Pejabat Pembina Kepegawaian maka pegawai KPPU yang diangkat sejak berdirinya KPPU hingga saat ini tidak dapat diakomodasi dengan ketentuan tata kelola kepegawaian ASN. Padahal, keberadaan Pejabat Pembina Kepegawaian yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mutlak diperlukan KPPU untuk melakukan pengelolaan kepegawaian sekretariat KPPU saat ini dan yang akan datang. Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal-pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur Rosikin
Humas: Annisa Lestari
Fotografer: Gani