JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang [Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Agenda sidang pada Senin (24/8/2020), yakni mengklarifikasi surat pencabutan yang telah diterima oleh MK yang bertanggal 19 Agustus 2020.
“Agenda kita tunggal, yaitu mengklarifikasi. Bagaimana dengan surat ini karena di surat kuasa dan di naskah permohonan itu tidak hanya satu orang kuasa, tetapi banyak kuasa. Nah, kita ingin klarifikasi, apakah pencabutan ini mewakili semua tim kuasa hukum? Silakan,” tegas Wakil Ketua MK Aswanto yang menjadi Ketua Panel Hakim.
Menjawab pertanyan Aswanto tersebut, Kuasa Hukum Pemohon yang diwakili oleh Arifudin menyatakan bahwa pencabutan yang disampaikan oleh Saiful Bakhri, memang sudah menjadi kesepakatan daripada kuasa hukum untuk mencabut Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020.
Sebelumnya, Permohonan ini diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, dkk., yang melakukan pengujian formil dan pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 serta Pasal 28 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pemohon menyampaikan bahwa alasan pengujian formil pemohon in casu proses persetujuan DPR dalam proses Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam satu masa sidang yang sama.
Padahal seharusnya pengesahan dilakukan dalam persidangan yang berikut merujuk kepada peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib. Sehingga yang dimaksud persidangan yang berikut” dapat dimaknai dari Pasal 249 yang mengatur mengenai tahun sidang dan masa persidangan. Lebih lanjut, proses penerimaan dan persetujuan yang sebagaimana diuraikan di atas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Seharusnya, apabila DPR menerima Perpu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perpu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV. Selain itu, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, Ahmad Yani melanjutkan seharusnya DPD ikut membahas Perpu 1/2020. Hal ini karena isinya menyangkut UU terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya, DPR membahas tanpa persetujuan DPD. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Lambang S