JAKARTA, HUMAS MKRI - Teknis hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK) sangat penting dipahami dan dimengerti oleh para calon advokat. Hal ini agar para calon advokat paham betul mekanisme beracara di MK. Demikian kalimat pembuka yang diucapkan Wakil Ketua MK Aswanto dalam web seminar (webinar) pada Sabtu (22/8/2020). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sawerigading, Makassar, dalam agenda Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan II Tahun 2020 dengan mengangkat tema “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.”
Pada kesempatan ini, Aswanto selaku narasumber membawakan presentasi berjudul “Beracara pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Dalam paparan tersebut Aswanto mengemukakan asas hukum pembentukan MK serta kewenangan MK yang diatur dalam UUD 1945. Kewenangan utama MK adalah melakukan pengujian undang-undang yang dapat diajukan oleh setiap wara negara, badan hukum privat, masyarakat hukum adat yang ketentuannya dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut Aswanto menyebutkan bahwa hal utama yang harus dipahami oleh para profesional bidang hukum adalah mekanisme hukum acara pengujian undang-undang yang terdiri atas beberapa tahapan.
“Tiap tahapnya terdapat banyak sekali teknis yang perlu dipedomani apabila advokat berperan mendampingi para Pemohon dalam suatu perkara,” jelas Aswanto.
Pada tahap pertama, urai Aswanto, MK menggelar sidang pendahuluan. Di dalamnya, terdapat tiga hakim konstitusi yang akan mendengarkan dengan saksama unsur-unsur pokok dari sebuah perkara PUU yang dimohonkan oleh Pemohon. Dalam sidang tersebut, panel hakim memberikan nasihat untuk perbaikan permohonan. Selanjutnya, Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya 14 hari untuk melakukan penyempurnaan permohonan.
Tahap kedua adalah sidang pemeriksaan perbaikan permohonan. Di dalam sidang ini, panel hakim mendengarkan hal-hal yang menjadi pokok perbaikan permohonan Pemohon.
Setelah dua tahap sidang panel tersebut dilaksanakan, selanjutnya panel hakim membawa pokok perkara ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Melalui agenda RPH ini, hakim panel dapat merekomendasikan apakah sebuah perkara layak untuk lanjut ke sidang pleno atau cukup selesai pada sidang panel. Apabila rapat memutuskan lanjut, maka agenda sidang tahap ketiga pun akan digelar. Pada tahap ini, Mahkamah akan mengundang Pemohon beserta DPR dan Presiden/Pemerintah.
“Presiden kita surati, DPR pun kita surati untuk hadir memberikan keterangan. Presiden biasanya tidak datang sendiri, tetapi memberi kuasa kepada para menteri yang terkait dengan perkara yang diajukan Pemohon,” terang Aswanto.
Setelah tahap ini, lanjut Aswanto, setiap pihak akan diberikan waktu untuk pembuktian. Mulai dari Pemohon, Presiden, DPR, dan Pihak Terkait, masing-masing menyampaikan pembuktian dengan mendatangkan Ahli dan Saksi. Setelah semua mendapatkan kesempatan pembuktian, tahap berikutnya Mahkamah kembali menggelar RPH untuk putusan. Sembilan hakim atau sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi akan membuat legal opinion (LO) yang dipresentasikan oleh masing-masing hakim. Sesudah diputuskan, maka RPH menentukan hakim yang membuat draf putusan. Tahap akhir, dilakukan kembali RPH dalam rangka finalisasi untuk memastikan tak ada kesalahan.
Perkara PHP Kada
Selain kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang, Aswanto juga menjelaskan terkait tugas MK untuk menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada). Hal ini disampaikan Aswanto mengingat pada Desember 2020 mendatang, terdapat 171 Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Untuk itu, Aswanto merasa perlu menekankan materi ini pada para advokat.
Secara konsep, sambung Aswanto, tahapan sidang PHP Kada ini sama dengan PUU. Hanya saja undang-undang memberikan batas waktu pengajuan perkara PHP Kada yakni 3x24 jam setelah pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai contoh kasus, Aswanto mengilustrasikan pemilihan yang terjadi di Kota Makassar beberapa waktu lalu. Pada PHP Kada Kota Makassar yang menang adalah kotak kosong. Maka KPU pun harus menjalankan putusan itu.
“Jadi tidak ada kompromi, perdebatan, dan bahkan diskusi dengan KPU. Akhirnya tidak ada pemerintahan yang menjabat dan dilakukan penunjukan pelaksana tugas,” cerita Aswanto.
Mahkamah Kalkulator
MK sering dianggap mahkamah kalkulator karena dibatasi oleh ketentuan Pasal 158 UU Pilkada. Atas hal ini, Aswanto pun tidak menampik anggapan ini karena norma yang dipakai MK sangat jelas. Intinya, sengketa hanya boleh diajukan apabila selisih perolehan suara tidak melebihi dari batas 2%. Namun, perlu diketahui pada Pilkada 2020 ini MK telah bersiap dengan PMK Nomor 2 Tahun 2020 yang tetap tunduk pada ketentuan norma Pasal 158 tetapi melakukan penyesuaian.
“Dengan kata lain, MK menyiapkan PMK dengan tidak mengesampingkan Pasal 158 karena ketentuan ini harus digunakan, tetapi bergeser. Dulu di Kepaniteraan jika lewat 2% maka perseleisihan perkara selesai. Kalau yang baru nantinya karena presentasi itu adalah bagian dari sengketa, maka ini harus diperiksa. Jadi, jika ada yang melebihi 2%, tetap akan kita periksa. Apakah selisih itu benar-benar secara prinsip berselisih dan tetap kita periksa pokok perkara. Jika selisihnya betul, maka tidak ada legal standing. Jadi tidak ada lagi kasus yang berhenti di awal. Itu yg bergeser dalam penanganan Pilkada nanti pada 2020,” terang Aswanto.
Sebelum menutup pemaparan, Aswanto menyampaikan harapannya kepada para advokat untuk memahami secara baik terlebih dahulu hukum acara di MK. Sehingga apabila di masa mendatang akan beracara di MK, dapat memiliki strategi terbaik dalam membantu pencari keadilan untuk menemukan unsur keadilan yang diperjuangkan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.