JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) pada Rabu (19/8/2020). Dalam persidangan kedua perkara Nomor 53/PUU-XVIII/2020 ini, Muhammad Anis Zhafran Al Anwary yang merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya, menyampaikan beberapa perbaikan, terutama tentang kedudukan hukum. Pemohon sebagai mahasiswa memiliki dua identitas yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, yaitu Warga Negara Indonesia dan warga negara kampus. Kebebasan Pemohon sebagai warga negara, sambung Anis, diperkenankan menyampaikan kritik serta saran terhadap permasalahan negara telah dijamin oleh undang-undang. Namun, kritik, saran, dan solusi yang disampaikan oleh Pemohon tersebut yang berbasis ilmu pengetahuan hanya dapat disampaikan secara terbuka terhadap masalah-masalah negara yang diyakini telah memiliki dasar teori yang jelas sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Perbaikan berikut yang dilakukan Pemohon adalah pada bagian Diskriminasi Akademik yang menjelaskan makna diskriminasi. Berpedoman pada Putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005, Mahkamah menyatakan diskriminasi terjadi jika terdapat pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lain. Frasa dan aspek kehidupan lainnya dalam putusan tersebut, jelas Anis, dapat diartikan sebagai aspek pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
“Sehingga, dalil adanya diskriminasi yang dimaksudkan tersebut berpotensi memberikan diskriminasi terhadap mahasiswa dalam hal kebebasan akademik memiliki sandaran hukum yang kuat,” ungkap Anis dihadapan Majelis Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Manahan M P Sitompul, Arief Hidayat, dan Saldi Isra.
Pada sidang perkara Nomor 53/PUU-XVIII/2020 ini, Pemohon mendalilkan Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28; Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3); Pasal 28F; dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurutnya, pasal a quo menghilangkan hak civitas akademika dirinya selaku mahasiswa dalam menyampaikan secara leluasa pikiran, pendapat, dan informasi yang didasarkan pada rumpun dan cabang ilmu yang dikuasainya. Ditambah pula dengan maraknya pembatasan diskusi, seminar, perbincangan publik, dan kegiatan sejenisnya yang melibatkan mahasiswa sebagai pembicara. Pembatasan yang dimaksudkan dapat berupa intimidasi, teror, ancaman verbal dan nonverbal atas dasar klasifikasi akademik mahasiswa yang dianggap tidak memenuhi klasifikasi profesor atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyampaikan pikiran dan informasi sesuai dengan rumpun ilmu. Pemohon juga khawatir pasal a quo dipergunakan sebagai alasan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mempersempit ruang gerak dan partisipasi mahasiswa untuk bersuara dalam ruang publik dengan ilmu yang didalaminya.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa pasal a quo merugikan hak konstitusionalnya karena dirinya selaku mahasiswa menjadi tidak memiliki kebebasan mimbar akademik karena yang memiliki hak demikian hanyalah profesor dan dosen dengan kualifikasi bidang ilmu tertentu. Sehingga Pemohon melihat pada penjelasan pasal a quo pembentuk undang-undang hanya memperhatikan lamanya proses seseorang belajar dalam jenjang formal. Berdasarkan permasalahan konstitusional tersebut, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari