JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian materiil Pasal 29 dan Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (18/8/2020). Perkara teregistrasi dengan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 dimohonkan tujuh pemohon yang berprofesi sebagai advokat. Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Russel Butarbutar selaku pemohon mengatakan bahwa pihaknya telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada persidangan sebelumnya. Russel mengatakan, batu uji yang digunakan Para Pemohon yang sebelumnya lima pasal, dikurangi menjadi tiga pasal, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kemudian, mengenai perbandingan dan perkembangan legal notaris atau somasi negara lain.
“Bahwa Para Pemohon telah menguraikannya dalam dalil posita poin 23, poin 24, dan 25 dimana Para Pemohon membandingkannya di dua negara, yaitu Belanda dan India. Yang mana di dua negara tersebut sudah lazim secara hukum untuk memberikan surat peringatan atau pemberitahuan atau legal notaris melalui Whatsapp atau media elektronik kepada pihak lain dan pengadilan juga telah mengakuinya,” ujar Russel.
Kemudian yang ketiga, mengenai petitum yang dapat menimbulkan kekosongan hukum. Mengenai hal ini, Para Pemohon sepakat untuk tetap memohon petitum poin 2a. Karena menurutnya, pasal a quo telah menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia dan dapat menimbulkan ketidaktertiban hukum. Selanjutnya, mengenai spesialisasi Undang-Undang Advokat dan Somasi Advokat. Para Pemohon juga telah menguraikan fokus dalilnya di poin 20 sampai dengan poin 28.
Sebelumnya, para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE yang multitafsir sangat mudah dipakai untuk melaporkan seseorang kepada penegak hukum. Dalam pokok permohonannya, Gunawan Simangunsong selaku pemohon I, menjelaskan bahwa dirinya merupakan salah satu kuasa hukum dari 12 mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) yang dicuti-akademikkan atau nilainya dihapus secara sepihak oleh Rektor ISTN. Hal tersebut terjadi karena 12 klien Pemohon tersebut terlambat melakukan pembayaran uang kuliah. Pemohon pun mengirimkan surat kepada Rektor ISTN dengan Nomor 17/BGP/III/2019 perihal Somasi dan Undangan Musyawarah tertanggal 18 Maret 2019 dan Surat Nomor 21/BGP/III/2019 perihal Somasi dan Undangan Musyawarah II tertanggal 21 Maret 2019 (Bukti P-8) yang pada intinya mempertanyakan keputusan Rektor ISTN yang mencuti-akademikkan Klien Pemohon I secara sepihak. Atas somasi tersebut, Pemohon I dilaporkan ke Polisi oleh Rektor ISTN dengan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti karena memberitahukan laporan dugaan penyalahgunaan wewenang Rektor ISTN melalui pesan whatsapp.
Padahal setelah melalui mediasi oleh tim dari Kemenristekdikti, laporan terhadap Pemohon I akan dicabut. Berdasarkan hasil mediasi tersebut, hak-hak Pemohon I yang secara sepihak oleh Rektor ISTN telah dicuti-akademikkan atau nilainya dihapus karena terlambat melakukan pembayaran uang kuliah pun sudah dikembalikan. Namun Pemohon I menerima surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan dari kepolisian sejak 3 bulan setelah mediasi berakhir. Sehingga, Pemohon I merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya secara faktual karena diberlakukannya pasal a quo dan Pemohon lainnya yang merupakan kuasa hukum dari Pemohon I merasa berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya karena hal tersebut.
Penulis : Utamin Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Muhammad Halim