JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) pada Selasa (18/8/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan dengan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, dkk. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 serta Pasal 28 UU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pada persidangan kali ini, Merdiansa Paputungan selaku kuasa para Pemohon menyampaikan beberapa poin perbaikan permohonan, salah satunya terkait alasan pengujian formiil mengenai persetujuan DPR bertentangan dengan UUD 1945. Apabila merujuk pada masa sidang DPR, sambung Merdiansa, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perpu tersebut pun seharusnya dilakukan pada masa Sidang IV.
“Maka prosedur persetujuan Perpu tersebut menjadi undang-undang tidak memenuhi Ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga para Pemohon beranggapan UU a quo beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan,” sebut Merdiansa di hadapan Wakil Ketua MK Aswanto serta Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Pandangan Mini Fraksi
Berikutnya, Merdiansa pun mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan persetujuan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 cacat formil. Bagi para Pemohon, pengambilan keputusan dalam sidang DPR diatur dalam Pasal 308 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang menegaskan bahwa dalam setiap rapat, keputusan harus diambil dengan memenuhi kuorum. Sebaliknya, rapat tersebut menggunakan pendapat mini fraksi sebagai dasar pengambilan keputusan. Padahal, yang seharusnya digunakan adalah pandangan anggota rapat yang hadir, bukan mini fraksi.
Selain itu, jelas Merdiansa, pendapat mini fraksi yang dijadikan sebagai dasar keputusan berdasarkan mufakat adalah keputusan yang berkomposisi 8 fraksi menyetujui dan 1 fraksi lainnya menolak. Padahal, menurut Pasal 310 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, keputusan berdasarkan mufakat adalah sah jika diambil dalam rapat yang dihadiri anggota dan unsur fraksi disetujui oleh semua yang hadir.
“Maka pengambilan keputusan untuk pengesahan Perppu tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai keputusan berdasarkan mufakat, melainkan harus menggunakan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Dan ketentuan ini pun menunjukkan pengambilan keputusan rapat dan sidang DPR berbasis kepada pendapat anggota dan bukan berdasarkan pandangan fraksi,” jelas Merdiansa yang hadir bersama Zainal Arifin Hoesein sebagai anggota tim kuasa hukum.
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyebutkan alasan pengujian formil Pemohon in casu proses persetujuan DPR dalam proses Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam satu masa sidang yang sama. Padahal seharusnya pengesahan dilakukan dalam “persidangan yang berikut” merujuk kepada peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib. Sehingga yang dimaksud “persidangan yang berikut” dapat dimaknai dari Pasal 249 yang mengatur mengenai tahun sidang dan masa persidangan. Berikutnya, proses penerimaan dan persetujuan sebagaimana dimaksud bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Sehingga, apabila DPR menerima Perppu 1/2020 pada masa sidang III, persetujuan atau penolakan terhadap Perpu 1/2020 seharusnya dilakukan pada masa sidang IV. Selain itu, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, Pemohon mengatakan bahwa DPD seharusnya ikut membahas Perppu 1/2020 karena isinya menyangkut UU terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah. Namun, dalam faktanya, DPR membahas tanpa persetujuan DPD. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayuditha