JAKARTA, HUMAS MKRI – Mekanisme pengunduran diri bagi calon peserta pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berasal dari TNI, Polri, ASN, BUMN, dan BUMD dengan calon peserta pilkada yang berasal dari anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dibedakan. Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III Arteria Dahlan mewakili DPR dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) yang digelar pada Rabu (12/8/2020), di Ruang Sidang Pleno MK.
Pembedaan tersebut, lanjut Arteria, dikarenakan keduanya merupakan jabatan yang berbeda. Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta kepala daerah merupakan jabatan publik sekaligus jabatan politik yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui mekanisme yang telah ditentukan. Maka mekanisme pengunduran diri untuk jabatan tersebut diharuskan sesuai dengan alasan-alasan yang bersifat khusus Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3).
Arteria melanjutkan, berbeda halnya dengan anggota TNI, Polisi, ASN, pegawai atau pejabat BUMN dan BUMD yang termasuk ke dalam jabatan profesional. Jabatan profesional tersebut memiliki fungsi memberikan pelayanan kepada publik sehingga harus dijaga netralitasnya. Terlebih adanya investasi negara dan kewenangan yang melekat kepadanya.
“Ketika jabatan profesional maju dalam Pilkada, maka sudah selayaknya dan seharusnya mundur dari jabatannya untuk menjaga netralitas. tidak bisa dipersamakan calon peserta pilkada yang berasal dari DPR, DPD, dan DPRD dengan calon peserta pilkada yang berasal dari anggota TNI, Polisi, ASN, pegawai atau pejabat BUMN dan BUMD,” ujar Arteria menanggapi permohonan Nomor 22/PUU-XVIII/2020 tersebut.
Baca juga: Hendak Maju dalam Pilkada, Anggota Dewan Uji Ketentuan Pengunduran Diri
Minim Calon Peserta Pilkada
Selain itu, Arteria menjelaskan syarat pengunduran diri sebagai anggota legislatif apabila hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah berdampak pada minimnya peserta yang mengikuti kontestasi dalam pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan pasal a quo sesungguhnya mengabaikan peran dan fungsi partai politik dalam melakukan pendidikan politik.
Arteria menjelaskan bahwa memperbolehkan anggota DPR, DPD dan DPRD untuk tidak perlu mundur ketika ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah bukanlah dianggap inskonsistensi terhadap putusan MK. “Karena senyatanya sejak awal pilkada langsung yang ada saat ini tidak sejalan dengan putusan MK lainnya,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Lebih lanjut, Arteria menerangkan bahwa aturan yang mengharuskan untuk mengundurkan diri tersebut menjadi tidak setara dengan pengaturan bagi petahana yang hanya menjalankan cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye. “Selain itu, berdasarkan UU ASN kepala daerah merupakan pejabat Pembina kepegawaian di daerah,” tambahnya. Menurutnya, perlu adanya perubahan politik hukum terkait kewajiban mundur anggota legislatif yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Untuk diketahui, para Pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan ini adalah Anwar Hafid yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku Pemohon I serta Arkadius Dt. Intan Baso yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat selaku Pemohon II. Para Pemohon menguji syarat pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan Kepala Daerah. Pemohon Perkara Nomor 22/PUU-XVIII/2020 ini adalah Anwar Hafid yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku Pemohon I serta Arkadius Dt. Intan Baso yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat selaku Pemohon II. Keduanya menguji Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada.
Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada berbunyi, "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Waliota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: s. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan,"
Para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 7 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3) dan Pasal 28H Ayat (2). Pemohon menilai secara konseptual anggota DPR, DPD, DPRD dan jabatan kepala daerah merupakan satu kesatuan rumpun jabatan yaitu "jabatan politik" sehingga anggota legislatif yang berkeinginan atau mendapatkan amanah dari rakyat untuk mencalonkan diri dalam jabatan kepala daerah seharusnya tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya. Meskipun tidak mengundurkan diri, anggota legislatif tidak mutatis mutandis mempunyai posisi lebih menguntungkan dari calon lainnya dan dapat memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pemenangan. Hal ini karena pada prinsipnya kelembagaan kekuasaan legislatif tidak memiliki jaringan birokrasi yang dapat ditarik menjadi bagian dari strategi pemenangan.
Sehingga, untuk memastikan pencalonan anggota legislatif dalam jabatan kepala daerah tidak menghambat kinerja kelembagaan legislatif. Sehingga, syarat “mengundurkan diri” dapat diterapkan atau diberlakukan hanya pada jabatan “alat kelengkapan dewan” tanpa perlu melepaskan jabatan anggota legislatif. Oleh karena itu, dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf f UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana