JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) pada Rabu (12/8/2020).
Pemohon Perkara 67/PUU-XVIII/2020 ini adalah Mohammad Kilat Wartabone (Pemohon I) dan Imran Ahmad (Pemohon II). Pemohon I adalah bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Pemohon II adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota…” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja. Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah.
Padahal dalam satu periode masa jabatan, menurut para Pemohon, terdapat subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah yakni (1) Gubernur/Bupati/Walikota itu sendiri, dan/atau (2) Wakil Gubernur/Bupati/Walikota yang menjadi pejabat kepala daerah.
“Dengan pemaknaan yang dibatasi tersebut, maka terdapat penyelundupan hukum berupa ruang bagi sang wakil kepala daerah yang menjadi kepala daerah untuk mengulur-ulur proses penetapan menjadi kepala daerah pengganti secara definitif, agar sisa masa jabatannya kurang dari dan/atau tidak mencapai setengah masa jabatan,” kata Dhimas Pradana selaku Kuasa Pemohon.
Secara aktual, para Pemohon mengalami kerugian atas praktik ketatanegaraan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango, bahwa Bupati Terpilih Periode 2010-2015 Abdul Haris Nadjmudin diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010-27 Mei 2013. Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013 - 17 September 2015. Kemudian pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016 -17 Februari 2021 dan di Pilkada Serentak 2020, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Menurut para Pemohon, tafsir terhadap ketentuan pasal a quo menyatakan subjek hukum yang dianggap telah menjabat satu periode pada Periode 2010-2015 adalah bukan pejabat Bupati Hamim Pou, tetapi almarhum Abdul Haris Nadjmudin. Pemaknaan dengan tafsir dari ketentuan pasal a quo bahwa subjek hukum yang dianggap telah menjabat satu periode adalah hanya “yang pernah menjabat sebagai Bupati” tidak mencakup “yang menjadi Pejabat Bupati” telah merugikan atau setidaknya mengurangi hak konstitusional para Pemohon selaku bakal calon yang akan berkontestasi merebut kursi Bupati Bone Bolango 2020. Selain itu, potensi kerugian lainnya adalah jika para Pemohon menjadi Bupati Terpilih Periode 2021-2026 akan dirugikan dengan cara penghitungan masa jabatan kepala daerah menurut ketentuan pasal a quo apabila hanya setahun menjabat lantas diberhentikan sementara tetapi tetap saja dihitung telah satu periode masa jabatan. Sebaliknya wakil bupati yang menjadi pejabat bupati tidak dihitung sebagai satu periode masa jabatan.
Kutipan Putusan MK Lebih Lengkap
Terkait permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku Ketua Panel meminta para Pemohon mengutip putusan MK lebih lengkap lagi, tidak hanya beberapa kalimat. “Coba diperiksa lagi dan diberikan konteks. Apalagi dalam permohonan dikatakan soal erga omnes. Ini kan tidak cukup hanya dengan dua kalimat saja. Dijelaskan konteks putusan itu dengan erga omnesnya,” kata Saldi.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai struktur permohonan para Pemohon sudah bagus, lengkap, tersusun secara sistematis dan disertai tabel matriks. “Meskipun dikatakan lengkap, namun dalam hal permohonan pengujian undang-undang ini kami hanya ingin mengingatkan. Sidang ini merupakan pengujian norma, sehingga harus lebih detail dijelaskan alasan terkait pasal yang diuji. Selain itu untuk Pemohon II, harus lebih dielaborasi lagi kerugian konstitusionalnya,” ungkap Manahan yang juga mencermati permohonan para Pemohon cenderung lebih ke persoalan implementasi di lapangan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan penting bagi para Pemohon. Di antaranya mengenai identitas Pemohon II perlu diberikan penekanan harus dikaitkan dengan rumusan normanya yang bicara soal calon kepala daerah.
“Anda harus bisa membuktikan bahwa Pemohon II tidak semata-mata memiliki hal dipilih dan memilih tapi juga sebagai pasangan calon. Adakah buktinya kalau Pemohon II adalah pasangan calon. Ini jadi lebih memperkuat kedudukan hukum Pemohon II. Sedangkan Pemohon I sudah jelas sebagai calon perseorangan,” tandas Enny.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan. Selambatnya perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK pada 25 Agustus 2020 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Lambang S
Fotografer : Gani