JAKARTA(SINDO) â Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan membantah disebut menghalangi audit biaya perkara yang akan dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut dia, pada dasarnya MA terbuka terhadap auditor BPK.Catatannya,peraturan pemerintah (PP) yang mengatur audit biaya perkara sudah diterbitkan. âSebaiknya yang didesak adalah penerbitan PP tentang biaya perkara. Seharusnya desakan itu tidak disampaikan ke MA, tetapi kepada pemerintah,âtegas Bagir Manan menanggapi pernyataan Ketua BPK Anwar Nasution di Gedung MA Jakarta kemarin.
Sebelumnya,Anwar Nasution mengancam akan melaporkan MA ke polisi jika tidak juga mengizinkan auditor BPK mengaudit biaya perkara. Bahkan Anwar menuding MA mengingkari janji yang telah dibuat dengan BPK di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Tudingan Anwar Nasution ini oleh Bagir disebut terlalu berlebihan.
Menurut Bagir, Anwar tidak bisa memaksakan keinginan diri sendiri.Bila begitu,Bagir menyindir dengan menyebut Anwar sebagai âjagoanâ.âSalah kira bahwa dia bisa memaksa semua orang. Jangan berlebihan dia,âkatanya.
Sementara itu, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang- undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang- undangan Depkumham Wicipto Setiadi mengatakan, proses harmonisasi RPP yang mengatur PNBP di tubuh MA sudah diselesaikan. Saat ini,RPP tersebut sudah berada di bawah kendali Departemen Keuangan dan Sekretariat Negara.
âItu sudah selesai harmonisasinya. Kami sudah menyerahkan itu beberapa waktu lalu ke Menteri Keuangan,â kata Wicipto. Menurut dia, dalam tindak lanjut penyelesaian RPP tersebut, Departemen Keuangan juga sudah menyerahkan ke Sekretariat Negara agar dibahas. âNah dalam pembahasan di Sekretariat Negara itu hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang belum bisa menerima isi RPP tersebut,â ujarnya.
Atas dasar itu,Sekretariat Negara kemudian mengembalikan draf RPP ke Departemen Keuangan. âYang jelas, harmonisasi RPP tersebut sudah selesai, kalaupun BPK belum selesai memahaminya atau masih mempersoalkan isinya, itu bukan kewenangan kami lagi,â cetusnya.
Dalam RPP tersebut diatur bahwa pendapatan negara bukan pajak (PNBP) adalah uang biaya perkara sisa dan sudah ada putusan pengadilan serta mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena itu, jika belum ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,uang tersebut belum masuk kategori PNBP.
âJadi, dalam aturannya, ketika uang biaya perkara itu tersisa,pengadilan memberikan tenggat waktu tertentu agar pihak-pihak yang bersangkutan mengambil sisa uang tersebut. Nah, jika dalam waktu yang sudah ditentukan ternyata pihak-pihak tersebut belum mengambil, uang tersebut masuk dalam PNBP,âtuturnya.
MA mengatur biaya perkara menjadi dua komponen, yaitu biaya proses perkara dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Besaran PNBP akan ditentukan menteri keuangan. PP itu tidak akan memberikan kewenangan kepada BPK untuk mengaudit keseluruhan penggunaan biaya perkara, termasuk pengelolaan biaya proses.
Biaya proses tidak diaudit karena habis untuk perkara. Ketentuan mengenai PNBP dalam biaya perkara tidak jauh beda dengan PP 26/1999 tentang Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada saat MA berada di bawah Departemen Kehakiman.Dalam PP 26/1999 biaya perkara ditentukan sebesar Rp3.000. (rijan irnando purba/ rahmat sahid)
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto Dok Humas MK