JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak dapat diterima. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan, pada Rabu (22/7/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Anwar saat membacakan amar putusan perkara nomor 33/PUU-XVIII/2020.
Baca juga: Suami Jadi Tersangka Makar, Istri Gugat UU Peraturan Hukum Pidana
Sebagaimana diketahui, Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 33/PUU-XVIII/2020 dimohonkan Nelly Rosa Yulhiana, istri dari Yudi Syamhudi Suyuti yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena tindak pidana makar.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Dalam permohonannya, Pemohon menguraikan kasus konkret yang dialami oleh suaminya. Suami Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Penahanan tersebut menyebabkan suami Pemohon ditahan dengan tuntutan hukuman penjara setinggi-tingginya tiga tahun dan hukuman penjara setinggi-tingginya 2 tahun sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946. Padahal seharusnya mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946, penuntut umum dapat melakukan penahanan selama pemeriksaan tingkat penyidikan, penuntutan, dan pengadilan sampai putusan akhir.
Selain itu, Pemohon menganggap bahwa kedua pasal tersebut menyebabkan kegiatan Pemohon sebagai aktivis sangat terancam dan tidak terlidungi konstitusi. Padahal sebagai rakyat sekaligus aktivis, Pemohon seharusnya tidak dibatasi dalam menyampaikan pendapat/hasil kajiannya/karya ilmiahnya karena telah dijamin UUD, yang menyatakan kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas antara berlakunya pasal-pasal yang diuji dengan kerugian yang berpotensi membuat Pemohon sebagai warga negara mengalami kriminalisasi.
“Mahkamah tidak meyakini bahwa Pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya pasal tersebut. Pemohon hanya menjadikan bukti KTP yang menunjukan bahwa Pemohon adalah berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga atau mengurus rumah tangga,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Suhartoyo, Mahkamah tidak menemukan bukti lain yang dijelaskan dalam persidangan yang menunjukkan bahwa Pemohon adalah aktivis yang secara aktif melakukan berbagai kegiatan.
Terlebih lagi, papar Suhartoyo, permohonan Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang diuji dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Selanjutnya, Pemohon juga tidak menguraikan mengenai adanya kausalitas (causal verband) antara kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma. Akan tetapi Pemohon dalam permohonannya justru lebih banyak menguraikan argumentasi terkait dengan berita bohong dan aktivis yang sebenarnya hal tersebut merupakan bagian dari kasus konkret yang dialami oleh suami Pemohon yang juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam argumentasi Pemohon baik dalam uraian kedudukan hukum ataupun posita.
Masih dibacakan oleh Suhartoyo, Mahkamah juga tidak dapat memahami alasan permohonan Pemohon jika dikaitkan dengan petitum permohonan yang meminta agar pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya bertentangan “secara bersyarat” dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena ketidakjelasan tersebut, Mahkamah menjadi sulit untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Andaipun Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan yang demikian adalah kabur. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Fitri Yuliana