JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat diterima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Negara Indonesia (UU TNI) dalam sidang Pengucapan Putusan pada Rabu (22/7/2020). Permohonan Nomor 31/PUU-XVIII/2020 ini, dimohonkan oleh Aristides Verissimo de Sousa Mota. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 10, Pasal 4 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 15, dan Pasal 19 UU TNI bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945.
“Amar Putusan, mengadili menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Menguji Konstitusionalitas Kedudukan Panglima TNI
Sebelumnya, Pemohon juga menyatakan keberadaan Panglima TNI dalam hubungan sistem hierarki jabatan dengan Presiden, secara tidak langsung telah menghilangkan kedudukan Presiden selaku panglima tertinggi. Menurutnya ketidaksesuaian ini terlihat pada saat pelaksanaan upacara kenegaraan dalam rangka pemakaman para mantan presiden dan wakil presiden. Bahwa yang bertugas memegang bendera merah putih di pusara adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Kepala Staf TNI Angkatan Laut, dan Kepala Staf Angkatan Laut serta Kapolri.
Mencermati hal ini, Aristides menilai jabatan Panglima TNI adalah tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 10 UUD 1945 Dengan demikian berdasarkan frasa ‘…memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara’ atasan langsung pinpinan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Laut tersebut adalah Presiden dan bukan Panglima TNI.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan bahwa Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian konstitusional yang dialaminya, baik aktual maupun potensial. Pemohon dalam perkara a quo hanya menjelaskan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia yang berhak untuk memberikan pendapat atas hal-hal yang dinilai tidak sejalan dengan UUD 1945.
Menurut Mahkamah, meskipun setiap warga negara bebas menyatakan pendapat, namun dalam mengajukan permohonan ke MK harus memiliki kedudukan hukum. Sehingga Pemohon harus menjelaskan kerugian konstitusionalnya terkait dengan norma yang dimohonkan pengujian. Tetapi dalam permohonannya, Pemohon lebih banyak menguraikan ketentuan dalam UU a quo yang terkait dengan peran, fungsi, dan tugas TNI tanpa menjelaskan pertentangannya dengan norma UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian. Akibatnya Mahkamah mengalami kesulitan untuk memahami anggapan kerugian konstitusional Pemohon ketika dikaitkan dengan potensi kerugian yang dialaminya dengan keberlakuan norma tersebut.
Dalam agenda sidang perbaikan permohonan, Pemohon masih belum dapat menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat khusus atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi pada dirinya. Pemohon juga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya UU a quo.
“Karena Pemohon tidak dapat menguraikan anggapan kerugian konstitusionalnya, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ujar Wahiduddin.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : Tiara Agustina