JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang keempat pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) pada Selasa (21/7/2020). Sidang perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 ini berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK. Seharusnya perkara yang diajukan Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, dan Redno Sri Rezeki yang berprofesi sebagai hakim pengadilan pajak ini akan mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi DPR tidak hadir.
“DPR tidak hadir. Dengan demikian sidang hari ini adalah sidang terakhir. Untuk itu para Pemohon, Kuasa Presiden, dan untuk semua pihak dapat menyerahkan kesimpulan atau keterangan tambahan selambat-lambatnya pada Rabu, 29 Juli 2020,” ujar Ketua MK Anwar Usman terhadap Pemohon yang mendalilkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945.
Baca juga: Pemerintah: Mekanisme Pencalonan Pimpinan Pengadilan Pajak Konstitusional
Sebelumnya, pada sidang perdana Rabu (12/2/2020), para Pemohon menyatakan mengalami kerugian akibat ketentuan Pasal 8 ayat (2) Pengadilan Pajak tentang pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua yang diusulkan oleh Menteri Keuangan. Hal tersebut berkaitan dengan sistem pengangkatan dan pemberhentiannya, terutama dalam hal independensi, kemerdekaan, dan kewibawaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pajak. Para Pemohon menilai UU a quo tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai mekanisme penentuan calon Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.
Para Pemohon juga menuturkan, sejak Pengadilan Pajak berdiri pada 2002, mekanisme pengusulan calon Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dilakukan secara berbeda. Dalam hal ini pemilihan pernah dilakukan melalui mekanisme pemilihan dari dan oleh hakim untuk selanjutnya diusulkan kepada menteri keuangan. Selain itu, pernah juga didasarkan atas usulan dari ketua periode sebelumnya menjelang masa pensiun. Inkonsistensi tersebut terjadi karena tidak adanya mekanisme pencalonan Ketua dan Wakil Ketua pada pengadilan yang hanya berkedudukan di Ibu Kota Negara ini.
Dampaknya, menurut Pemohon, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak akan menjabat sampai dengan pensiun karena tidak dapat diberhentikan. Adapun pengecualiannya dapat terjadi karena melakukan tindak pidana, melanggar kode etik, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus, tidak cakap dalam menjalankan tugas dan meninggal dunia. Ketiadaan pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak memiliki potensi terjadinya seseorang akan otoriter, abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan, tersendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi, dan timbulnya kultus individu.
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari