JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/7/2020). Protokol kesehatan terkait Covid-19 masih tetap diterapkan dalam persidangan. Panel Hakim dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Prof H.R. Abdussalam sebagai Pemohon Perkara 46/PUU-XVIII/2020, dalam perbaikan permohonan menambah satu Pemohon atas nama Syamsudin (Pemohon II). Namun Majelis mempertanyakan ikhwal surat kuasa dari Syamsudin.
"Syamsudin sebagai Pemohon harus memberi surat kuasa kepada para kuasa hukumnya khusus untuk beracara di MK. Tetapi untuk sementara, dalam persidangan yang menyampaikan perbaikan permohonan adalah Prof. Abdussalam saja. Masalah Pemohon II bersama tim kuasanya diikutsertakan atau tidak dalam permohonan ini, kami akan putuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Silakan saja surat kuasa dari Pemohon disusulkan. Nanti kami yang akan menilai," jelas Arief Hidayat.
Pemohon juga melakukan perbaikan posita, alasan-alasan permohonan diubah, termasuk sebab akibat permohonan Pemohon. Sedangkan kedudukan hukum Pemohon tidak banyak berubah. Kemudian fakta hukum yang disampaikan Pemohon juga tidak berubah, seperti permohonan pendahuluan. Namun di bagian petitum, Pemohon melakukan perbaikan.
Baca Juga…
Hakim Menilai Permohonan Uji KUHAP Mempersoalkan Kasus Konkret
Sebagaimana diketahui, H.R. Abdussalam selaku Pemohon Perkara 46/PUU-XVIII/2020 melakukan pengujian materiil Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berdomisili di sebuah apartemen. Abdussalam juga merupakan mantan penyidik Polri, mantan penyidik Kopkamtib dan mantan penyidik tindak pidana korupsi di bawah Jaksa Agung langsung serta seorang peneliti dan penulis buku.
Pemohon mulanya membuat laporan kepada Polisi terkait dengan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan atas rumah susun dengan Nomor LP/05/I/2015/Bareskrim tanggal 6 Januari 2015 yang kemudian dilimpahkan kepada Kapolda Metro Jaya dengan surat Nomor B/37/Ops/I/2015/Bareskrim tanggal 7 Januari 2016 perihal Pelimpahan Laporan Polisi.
Namun, Penyidik Polda Metro Jaya melakukan telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidik Nomor S.Tap/566/VII/Ditreskrimum, tanggal 13 Juli 2015 tanpa memberi tembusan kepada Pemohon sampai saat ini. Oleh karena itu Pemohon berpandangan bahwa proses penyidikan yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
“Atas penghentian penyidikan laporan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan pra peradilan namun ditolak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 88/PidPraper/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 6 Oktober 2015. Kemudian Pemohon mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 PK/PID/2016 permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima,” urai Abdussalam kepada Panel Hakim MK.
Pemohon menerima tembusan Surat Dirreskrimum Polda Metro Jaya Nomor R/1529/II/2020/Ditreskrimum, tanggal 29 Februari 2020 perihal Pemberitahuan penghentikan Penyidikan, tanpa surat ketetapan penghentian penyidikan, yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemohon untuk mengajukan pra peradilan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12 Maret 2020. Terhadap permohonan pra peradilan a quo, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 28/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel, tanggal 28 April 2020 menyatakan menolak pra peradilan Pemohon.
Dalam Putusan a quo, tercantum bahwa Termohon menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP) Nomor SPPP/653/II/2020/Dit.Reskrimum, tanggal 29 Februari 2020 dan Surat Ketetapan S.Tap/607/II/2020/Dit. Reskrimum, tanggal 29 Februari 2020 yang tidak pernah diterima hingga saat ini oleh Pemohon. Atas dasar tersebut Pemohon berpandangan bawa hak konstitusional Pemohon dirugikan. Proses penyidikan yang telah berlangsung selama 3 (tiga) tahun 3 (tiga) bulan dihentikan dengan adanya penerapan Pasal 109 ayat (2) KUHP sehingga pasal a quo dianggap Pemohon tidak memberi perlindungan dan kepastian hukum.
Secara khusus Pemohon menilai frasa “maka Penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya” dalam Pasal 109 ayat (2) telah merugikan Pemohon. Sehingga, dalam permohonan yang telah diperbaiki, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak menyebutkan “maka Penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya dan korban/pelapor”.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Raisa