JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU LPMPUTS) pada Kamis (16/7/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 54/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Kamal Barok, Nurul Fadhilah, Erika Rovita Maharani, Melita Kristin BR, Helli Nurcahyo, dan M. Suprio Pratomo. Para Pemohon merupakan pegawai pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dalam permohonannya, para Pemohon menguji Pasal 34 ayat (2) UU LPMPUTS yang menyatakan, “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.” Kemudian Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS yang menyatakan, “Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut oleh keputusan Komisi.”
Pada persidangan panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Saldi Isra, para Pemohon yang diwakili kuasa hukum Misbahuddin Gasma mendalilkan bahwa hak konstitusional mereka telah dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal tersebut. Hak konstitusional dimaksud yaitu hak untuk mendapatkan jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan tugas selaku pegawai KPPU terlanggar karena adanya permasalahan kelembagaan KPPU.
Hal tersebut disebabkan karena ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU LPMPUTS membawa implikasi terhadap status kelembagaan KPPU yang belum terintegrasi dengan sistem kelembagaan dan kepegawaian nasional. Selain itu, lanjut Misbahuddin, pengaturan kelembagaan sekretariat KPPU dalam UU LPMPUTS tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana pengaturan kelembagaan kesekretariatan pada lembaga nonstruktural lain yang sama-sama bersifat independen.
“Tidak satu pun dalam UU 5/1999 yang secara eksplisit menjelaskan perihal pengangkatan pimpinan sekretariat dan status pegawai atau pegawai sekretariat maupun pegawai sekretariat jenderal. Pemohon juga menilai frasa "sekretariat" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) UU 5/1999 dapat menimbulkan multitafsir karena menggunakan huruf “s” kecil, yang dapat ditafsirkan secara fungsi maupun ditafsirkan secara jabatan,” terang Misbahuddin.
Dalam kaitannya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Komisi sebagai lembaga negara independen yang bertanggung jawab kepada Presiden, lanjut Misbahuddin, sudah seharusnya frasa “sekretariat” ditafsirkan secara fungsi, sehingga harus dimaknai sebagai “Sekretariat Jenderal”.
Lebih lanjut, Misbahuddin mengatakan, frasa “keputusan Komisi” tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan ketentuan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengatur susunan organisasi, tugas, dan fungsi kesekretariatan lembaga negara termasuk pengaturan kepegawaian. Akibat hukum dari tidak adanya Pejabat Pembina Kepegawaian maka pegawai KPPU yang diangkat sejak berdirinya KPPU hingga saat ini tidak dapat diakomodasi dengan ketentuan tata kelola kepegawaian ASN. Padahal, keberadaan Pejabat Pembina Kepegawaian yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mutlak diperlukan KPPU untuk melakukan pengelolaan kepegawaian sekretariat KPPU saat ini dan yang akan datang.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU LPMPUTS bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “Sekretariat Jenderal”. Selain itu, menyatakan frasa “keputusan komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU LPMPUTS bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “Peraturan Presiden”.
Usai mendengar uraian permohonan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan beberapa saran perbaikan untuk kesempurnaan permohonan. Saran tersebut di antaranya memperkuat legal standing. “Sebagai subjek hukum, perlu diperkuat legal standingnya,”ujar Arief.
Selain itu, para pemohon diminta untuk menguraikan kerugian konstitusionalnya. Kemudian, Arief juga menyarankan para pemohon untuk menguraikan dasar pengujian.
Hakim Konstitusi Saldi Isra pun memberikan catatan terkait penjelasan yang lebih padat mengenai hak-hak konstitusional yang dialami sehingga dapat dilihat secara jelas. Selain itu, Saldi juga meminta para Pemohon untuk mengaitkan alasan permohonan dengan dasar pengujian.
Pada akhir persidangan, Ketua Panel Hakim Konstitusi Suhartoyo menginformasikan para Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Rabu, 29 Juli 2020 pukul 13.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur Rosikin
Fotografer: Gani