JAKARTA, HUMAS MKRI - Muhammad Anis Zhafran Al Anwary yang merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya, mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) terkait aturan kebebasan mimbar akademik. Sidang perkara Nomor 53/PUU-XVIII/2020 ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (15/7/2020) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang dengan agenda pendahuluan ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul yang didampingi oleh Hakim Konsitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra.
Dalam permohonannya, Anis menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi yang menyatakan, “Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya” bertentangan dengan Pasal 28; Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3); Pasal 28F; dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Menurutnya, pasal a quo menghilangkan hak civitas akademika dirinya selaku mahasiswa dalam menyampaikan secara leluasa pikiran, pendapat, dan informasi yang didasarkan pada rumpun dan cabang ilmu yang dikuasainya. Ditambah pula dengan maraknya pembatasan diskusi, seminar, perbincangan publik, dan kegiatan sejenisnya yang melibatkan mahasiswa sebagai pembicara. Pembatasan yang dimaksudkan dapat berupa intimidasi, teror, ancaman verbal dan nonverbal atas dasar klasifikasi akademik mahasiswa yang dianggap tidak memenuhi klasifikasi profesor atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyampaikan pikiran dan informasi sesuai dengan rumpun ilmu. Selain itu, Pemohon juga khawatir pasal a quo dipergunakan sebagai alasan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mempersempit ruang gerak dan partisipasi mahasiswa untuk bersuara dalam ruang publik dengan ilmu yang didalaminya.
“Dengan adanya diskriminasi akademik terhadap mahasiswa karena berlakunya pasal a quo itu akhirnya membatasi kebebasan mimbar akademik mahasiswa untuk menyampaikan secara terbuka sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dengan kualifikasi yang dimiliki oleh seorang profesor/dosen. Dengan demikian, pasal a quo secara nyata mendiskriminasi mahasiswa untuk dapat menyampaikan secara terbuka suatu hal yang berhubungan dengan cabang ilmu yang dikuasai oleh mahasiswa yang bersangkutan,” jelas Anis.
Kebebasan Mimbar Akademik
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa pasal a quo merugikan hak konstitusionalnya karena dirinya selaku mahasiswa menjadi tidak memiliki kebebasan mimbar akademik karena yang memiliki hak demikian hanyalah profesor dan dosen dengan kualifikasi bidang ilmu tertentu. Sehingga Pemohon melihat pada penjelasan pasal a quo pembentuk undang-undang hanya memperhatikan lamanya proses seseorang belajar dalam jenjang formal.
“Dengan kata lain, hanya mementingkan penilaian kemampuan kognitif seseorang berdasarkan kuantitatif. Padahal penilaian tersebut sering tidak sejalan dengan penilaian kualitatif karena lamanya periode belajar formal tidak berarti seseorang tersebut telah memiliki wibawa ilmiah secara kualitatif,” sampai Anis yang merupakan mahasiswa angkatan 2019 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Berdasarkan permasalahan konstitusional tersebut, Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Argumentasi Dasar
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra memberikan nasihat pada Pemohon mengenai kedudukan hukum Pemohon. Pengandaian potensi terlanggarnya hak konstitusional Pemohon belum dibangun dalam sebuah konstruksi argumentasi dengan nalar wajar yang dapat diterima oleh Mahkamah. “Kami belum menemukan argumentasi dari dasar kerugian konstitusional yang benar-benar dialami oleh Pemohon,” jelas Saldi.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan tambahan nasihat agar Pemohon untuk mencermati dengan teliti makna bertanggung jawab dalam UU a quo yang bermakna kompetensi seorang dosen atau profesor tersebut adalah suatu otonomi keilmuan. Untuk itu, Pemohon diminta agar melakukan perbandingan terhadap pengaturan ruang diskusi antara mahasiswa dan dosen atas dasar kebebasan akademik yang mempunyai kapasitas tertentu di negara-negara lainnya.
“Jadi, dari alasan permohonan cari bahan perbandingan dengan negara lain. Dalam struktur keilmuan itu ada ada kebebasan mimbar akademik, kebebasan akademik, dan otonomi keilmuan. Jadi, ini cermati kembali apakah betul pengujiannya norma dari struktur UU merugikan hak konstitusional Pemohon,” saran Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Manahan meminta agar Pemohon konsisten dalam penulisan pasal-pasal yang dijadikan dasar pengujian. Sehingga perlu dilakukan perbaikan dan konsistensi Pemohon dalam mengajukan permohonan. Manahan juga meminta agar Pemohon memahami konteks kebebasan mimbar akademik yang dijadikan alasan permohonan mengingat Pemohon adalah seorang mahasiswa dengan kedudukannya sebagai mahasiswa yang masih aktif dan belum memasuki tahap asisten dosen atau dosen atau guru besar.
“Dengan demikian, Pemohon perlu memperhatikan hak mimbar akademik yang dimaksudkan berbeda konteks dengan hak sebagai civitas akademik. Jadi, pelajari lagi penafsiran konstitusional yang dimaksudkan,” urai Manahan.
Sebelum mengakhiri persidangan, Manahan mengingatkan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 28 Juli 2020 pukul 13.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Annisa Lestari
Fotografer: Hendy Prasetya