JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang kedua bagi tiga permohonan, yakni perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh 50 Pemohon yang menamakan dirinya Aktivis Pro Demokrasi (Prodem); perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Munarman, dkk.; dan perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Sururudin. Seluruh Pemohon mengujikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (UU Covid-19) yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang perbaikan permohonan ini, para Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ruth Yosephine selaku kuasa hukum para Pemohon, menyebutkan poin penyempurnaan permohonannya, di antaranya sistematika permohonan yang telah disempurnakan sesuai ketentuan hukum acara MK dan argumentasi hukum permohonan.
“Mengenai argumentasi hukum kami buat singkat, padat, dan jelas. Argumentasi hukum ini telah didasarkan pada pemikiran komulatif para Pemohon sehubungan dengan kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon,” kata Ruth di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Sebelumnya, para Pemohon ini menilai hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 sampai dengan Pasal 25 Lampiran UU Covid-19. Menurut para Pemohon seharusnya UU tersebut membahas mengenai kebijakan keuangan semasa pandemi Covid-19, dan bukan membahas mengenai APBN. Sehingga hal tersebut berpotensi merugikan negara dan bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945. Di samping itu, para Pemohon menganggap kebijakan keuangan negara dalam UU tersebut berpotensi disalahgunakan tanpa pengawasan oleh badan-badan yang berwenang. Ditambah pula UU tersebut disebutkan terkait dengan kerugian negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah/dan atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara serta meniadakan peran BPK untuk menilai dan mengawasinya.
Baca juga: Aturan Kebijakan Keuangan Negara dalam Penanganan Covid-19 Dipersoalkan
Perbandingan Negara Lain
Sementara itu, para Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020 menyatakan beberapa perbaikan, yaitu menarik kembali Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 terkait dengan batu uji pengujian kerugian konstitusional pihaknya. Berikutnya para Pemohon dalam permohonan perbaikan ini menambahkan contoh kasus perbandingan penanganan Covid-19 di negara lain serta pihaknya juga melakukan penyesuaian dalam petitum berupa uji formil.
Dalam permohonannya, para Pemohon ini mempersoalkan kewenangan berlebih yang dimiliki oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) yang tidak bisa digugat ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UU Covid-19 tersebut. Para Pemohon juga menilai bahwa UU a quo menghapus secara tidak langsung mengenai kerugian negara yang berpotensi menyebabkan peluang korupsi dan pembentukannya pun dinilai cacat secara hukum.
Selain itu, Pemohon mendalilkan pengesahan Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 tidak memenuhi kuorum anggota DPR yang hadir. Rapat Paripurna DPR yang membahas Perppu a quo untuk disetujui menjadi undang-undang dengan dihadiri seluruh fraksi serta 296 anggota DPR dari total seluruh anggota DPR yang berjumlah 575 orang, terdiri dari 41 anggota hadir secara fisik dan 255 anggota “hadir” secara virtual. Namun klaim “kehadiran” secara virtual dianggap tidak sesuai dengan Tata Tertib DPR yang mengatur bahwa sebelum menghadiri rapat harus terlebih dahulu menandatangani daftar hadir.
Beberapa Kata
Pada sidang kedua ini, Sururudin selaku Pemohon perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 menyampaikan pula perbaikan pihaknya, yakni hanya berupa perbaikan beberapa kata yang salah pengetikan. “Pada permohonan ini, Pemohon hanya memperbaiki kesalahan berupa typo pada penulisan istilah dalam bahasa Jerman dan beberapa kesalahan tik lainnya,” sampai Sururudin
Dalam permohonannya Pemohon ini mendalilkan adanya kekuasaan yang besar diberikan kepada presiden untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020 sampai dengan 2023 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Covid-19 bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, para Pemohon dalam petitum meminta Mahkamah untuk menyatakan UU Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuannya secara hukum. (Sri Pujianti/LA)