JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian materiil Pasal 29 dan Pasal 45B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (13/7/2020). Perkara teregistrasi dengan Nomor 50/PUU-XVIII/2020 dimohonkan tujuh pemohon yang berprofesi sebagai advokat. Para Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE.
Pasal 29 UU ITE berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
Adapun Pasal 45B UU ITE berbunyi, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Menurut para pemohon Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE yang multitafsir sangat mudah dipakai untuk melaporkan seseorang kepada penegak hukum. Dalam pokok permohonannya, Gunawan Simangunsong selaku pemohon I, menjelaskan bahwa dirinya merupakan salah satu kuasa hukum dari 12 mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) yang “dicuti-akademikkan atau nilainya dihapus” secara sepihak oleh Rektor ISTN. Hal tersebut terjadi karena 12 klien Pemohon tersebut terlambat melakukan pembayaran uang kuliah. Pemohon pun mengirimkan surat kepada Rektor ISTN dengan Nomor 17/BGP/III/2019 perihal Somasi dan Undangan Musyawarah tertanggal 18 Maret 2019 dan Surat Nomor 21/BGP/III/2019 perihal Somasi dan Undangan Musyawarah II tertanggal 21 Maret 2019 (Bukti P-8) yang pada intinya mempertanyakan keputusan Rektor ISTN yang mencuti-akademikkan Klien Pemohon I secara sepihak. Atas somasi tersebut, Pemohon I dilaporkan ke Polisi oleh Rektor ISTN dengan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti karena memberitahukan laporan dugaan penyalahgunaan wewenang Rektor ISTN melalui pesan whatsapp.
Padahal setelah melalui mediasi oleh tim dari Kemenristekdikti, laporan terhadap Pemohon I akan dicabut. Berdasarkan hasil mediasi tersebut, hak-hak klien Pemohon I yang secara sepihak oleh Rektor ISTN telah “dicuti-akademikkan atau nilainya dihapus” karena terlambat melakukan pembayaran uang kuliah pun sudah dikembalikan. Namun Pemohon I menerima surat pemberitahuan dimulainya penyelidikan dari kepolisian sejak 3 bulan setelah mediasi berakhir. Sehingga, Pemohon I merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya secara faktual karena diberlakukannya pasal a quo dan Pemohon lainnya yang merupakan kuasa hukum dari Pemohon I merasa berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya karena hal tersebut.
Oleh karena itu, pemohon mendalilkan pasal a quo tidak memiliki parameter yang pasti. Selain itu, dalam Penjelasan pasal tersebut, Nurharis Wijaya yang merupakan pemohon V mengatakan, pembentuk undang-undang hanya mencantumkan kalimat “Cukup Jelas”. Begitu juga penjelasan Pasal 45B UU ITE hanya menyatakan “Ketentuan dalam pasal ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil”. Ia mengatakan, penjelasan tersebut hanya menjelaskan “akibat” bukan pengertian dari ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
“Karena tidak memiliki parameter yang pasti, mengakibatkan pengertian ‘ancaman kekerasan atau menakut-nakuti’ dapat ditafsirkan bebas yang menyebabkan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya melanggar prinsip negara hukum,” tegas Nurharis Wijaya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Arief Hidayat.
Para pihak baik dari pelapor maupun penegak hukum akhirnya bertindak berdasarkan subjektivitas bukan lagi berdasarkan objektivitas dalam menilai perbuatan tersebut. Pada akhirnya atas laporan kepada penegak hukum, peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang terhadap warga negara. Nurharis Wijaya juga mengatakan, dalil Pemohon sejalan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 5/PUUVIII/2010, uji materi mengenai penyadapan, pertimbangan hukum Mahkamah menyatakan, “Bahwa kondisi pembangunan dan penegakan hukum di Indonesia belum stabil dan cenderung lemah bahkan terkesan karut-marut”. Sehingga keberadaan pasal a quo amat dimungkinkan disalahgunakan melanggar HAM orang lain.
Profesi Mandiri
Para pemohon menegaskan, profesi advokat merupakan profesi yang bebas dan mandiri yang dihubungkan dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Bahwa syarat kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah diperlukannya profesi advokat yang bebas.
Hal ini tergambar dalam konsideran menimbang poin b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang menyatakan “bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia”. Selanjutnya, konsideran poin c menyatakan “bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum”.
Oleh karena itu, para Pemohon menguji Pasal 29 dan Pasal 45B UU ITE agar hak-hak konstitusional para Pemohon tidak dilanggar. Menurut Pemohon, permohonan ini juga diajukan agar terciptanya kepastian hukum terhadap 267 juta warga negara Indonesia, dimana komunikasi sangat banyak dilakukan melalui media elektronik, selain itu agar adanya perlindungan dan kepastian hukum terhadap profesi Advokat yang saat ini berjumlah 50.000 orang.
Perbaiki Dalil Permohonan
Usai mendengar penjelasan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memberikan beberapa saran perbaikan untuk kesempurnaan permohonan. Saran tersebut di antaranya menguraikan pasal-pasal yang diujikan. “Kalau dasar pengujiannya banyak, maka semuanya harus diuraikan satu persatu, sehingga hakim teryakini dimana sih letak pertentangannya,” ujarnya.
Saldi Isra pun memberikan catatan terkait identitas pemohon dan pokok permohonan yang belum menegaskan hak konstitusional yang dilanggar karena berlakunya pasal a quo. Untuk itu, Saldi mengharapkan agar Pemohon lebih menguraikan kerugian konstitusional yang dialami sendiri atas pemberlakuan pasal a quo.
Pada akhir persidangan, Suhartoyo menyampaikan bahwa Pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan hingga Senin, 27 Juli 2020 pukul 13.30 WIB. (Utami/Halim/LA)