JAKARTA, HUMAS MKRI - Kuasa hukum Ki Gendeng Pamungkas, Julianta Sembiring menyatakan mencabut permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), "Kami memutuskan untuk mencabut permohonan," kata Julianta dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Senin (13/7/2020).
Tim kuasa hukum Pemohon secara resmi mengirim surat ke MK mengenai pencabutan permohonan. Kuasa hukum Pemohon akhirnya membenarkan Ki Gendeng Pamungkas sudah meninggal.
"Terima kasih kepada kuasa hukum Pemohon, surat pencabutan permohonan akan kami bahas dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim. Namun kami hanya ingin mengingatkan, dalam persidangan harusnya dikemukakan fakta sebenarnya. Kalau di ruang sidang saja kita tidak bisa jujur, maka sulit kita bisa jujur di luar persidangan. Ini pelajaran buat Saudara," tegas Hakim Konstitusi Saldi Isra selaku Ketua Panel.
Sementara Anggota Panel Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, permohonan Pemohon menjadi perhatian Mahkamah karena tim kuasa hukum Pemohon tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Surat keterangan tersebut tidak mencantumkan nomor induk kependudukan Pemohon Prinsipal.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan bahwa advokat merupakan profesi yang mulia. Karena itu sikap dan tindakan advokat harus bisa menunjukkan integritasnya. Terlebih harus bicara di persidangan yang terbuka untuk umum.
Sebelumnya Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK membahas secara saksama permohonan Pemohon Perkara Nomor 35/PUU-XVIII/2020 setelah dua kali menggelar persidangan. Hal ini disebabkan keraguan Majelis Hakim terhadap keterangan para kuasa hukum Pemohon mengenai Pemohon Prinsipal Ki Gendeng Pamungkas yang dikatakan masih hidup. Padahal berbagai media telah menyiarkan meninggalnya paranormal kondang itu pada 6 Juni 2020. Putusan RPH kemudian menetapkan bahwa MK menggelar sidang sekali lagi pada Senin 13 Juli 2020 karena tidak yakin dengan keterangan tim kuasa hukum.
Baca Juga…
Ki Gendeng Pamungkas Uji UU Pemilu
Ki Gendeng Pamungkas Harus Dihadirkan dalam Sidang
Sebagaimana diketahui pada sidang pemeriksaan pendahuluan, Pemohon melalui kuasa hukumnya menguji materi UU Pemilu, antara lain Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 225 ayat (1) UU Pemilu.
Pasal 1 angka 28 UU Pemilu menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai potitik yang telah memenuhi persyaratan.”
Kemudian Pasal 221 UU Pemilu yang menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dan Pasal 222, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Pasal 225 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden sebelum penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.”
Pemohon mendalilkan, norma yang diujikan bertujuan untuk kepentingan keutuhan dan rasa nyaman warga negara jika antara eksekutif dan parlemen bukan berasal dari partai sebagaimana sekarang. Maka partai berkuasa dapat segala-galanya di Kepresidenan dan Parlemen sebagaimana peristiwa KPK yang tidak dapat masuk ke kantor PDIP dan seterusnya. Demikian juga masuknya TKA Cina dalam keadaan Covid-19 atau pembuatan Perppu sampai kepada mengatur anggaran Covid-19 tidak memerlukan persetujuan parlemen. Maka hal ini benar-benar telah menantang Pemohon untuk memperbaki ketatanegaraan dengan cara menjadi Presiden atau Wakil Presiden sehingga tidak lagi dengan orasi atau demonstrasi jalanan.
Pemohon beranggapan, penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari masyarakat bukan dari partai politik atau gabungan partai politik saja sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, menurut Pemohon, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam undang-undang a quo belum menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif agar tidak terjadi seorang calon presiden atau wakil presiden dan atau partai politik/gabungan partai politik yang kalah menjadi menteri atau masuk dalam jajaran presiden dan atau wakil presiden yang menang.
(Nano Tresna Arfana/LTS/NRA)