JAKARTA, HUMAS MKRI - Pemerintah menjelaskan aturan pencalonan pimpinan pengadilan pajak telah sesuai dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan Tio Serepina Siahaan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak). Sidang perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 ini digelar pada Selasa (7/7/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Tio mengatakan bahwa secara khusus pengaturan pembinaan administrasi umum dan keuangan telah sejalan dengan UUD 1945. Kekhususan pengaturan pajak—dalam hal ini—mengatur khusus sengketa perpajakan. Hal tersebut dikarenakan fungsi dan peruntukan pajak ditujukan untuk kemakmuran dan kepentingan rakyat. Sehingga, sengketa pajak tidak dapat disamakan dengan sengketa pada umumnya. Tio juga mengatakan, keputusan sengketa pajak sangat jelas dan bersifat mengikat dan terakhir.
Lebih lanjut, Tio menyampaikan bahwa dengan adanya kekhususan tersebut, maka Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk mengusulkan calon ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Namun, calon terpilih tetap disetujui oleh Ketua Mahkamah Agung (MA) dan kemudian ditetapkan oleh Presiden.
Selain itu, kemerdekaan hakim pajak dalam memutus perkara tetap terjamin sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Sehingga, tidak terpengaruh dari pihak yang mengusulkan ketua dan wakil pengadilan pajak. “Sejatinya kemerdekaan hakim dalam memutus sengketa pajak telah terjamin dalam pasal 5 ayat (3) UU Pengadilan Pajak,” ujar Tio.
Dengan demikian, lanjut Tio, pemilihan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak yang dilakukan Kementerian Keuangan selama ini sudah sesuai dengan Konstitusi. Sementara terkait permohonan Pemohon, Pemerintah berpendapat jika Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Terkait dengan hal itu, Pemerintah meminta MK untuk menolak permohonan pemohon.
Kemudian, Pemerintah juga menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, karena Pemohon mempersoalkan penerapan norma, bukan masalah konstitusionalitas norma. “Pemerintah berpendapat permohonan yang diajukan oleh Pemohon tidak memenuhi ketentuan uji materi di MK,” ujar Tio.
Baca juga: Mekanisme Pencalonan Pimpinan Inkonsisten, 3 Hakim Ujikan UU Pengadilan Pajak
Sebelumnya, Triyono Martanto, Haposan Lumban Gaol, dan Redno Sri Rezeki yang berprofesi sebagai hakim pengadilan pajak mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945. Pada sidang pendahuluan, Rabu (5/2/2020), Haposan menyatakan bahwa dirinya mengalami kerugian akibat ketentuan Pasal 8 ayat (2) Pengadilan Pajak tentang pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua yang diusulkan oleh Menteri Keuangan. Hal tersebut berkaitan dengan sistem pengangkatan dan pemberhentiannya, terutama dalam hal independensi, kemerdekaan, dan kewibawaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pajak. Haposan menilai, UU a quo tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai mekanisme penentuan calon Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.
Para juga Pemohon menuturkan, sejak Pengadilan Pajak berdiri tahun 2002, mekanisme pengusulan calon Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dilakukan secara berbeda. Dalam hal ini pemilihan pernah dilakukan melalui mekanisme pemilihan dari dan oleh hakim untuk selanjutnya diusulkan kepada menteri keuangan. Selain itu, pernah juga didasarkan atas usulan dari ketua periode sebelumnya menjelang masa pensiun. Inkonsistensi tersebut terjadi karena tidak adanya pengaturan mekanisme pencalonan Ketua dan Wakil Ketua pada pengadilan yang hanya berkedudukan di Ibu Kota Negara ini.
Dampaknya, menurut Pemohon, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak akan menjabat sampai dengan pensiun karena tidak dapat diberhentikan kecuali melakukan tindak pidana, melanggar kode etik, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, tidak cakap dalam menjalankan tugas dan meninggal dunia. Ketiadaan pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak memiliki potensi terjadinya seseorang akan otoriter, abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan, tesendatnya regenerasi kepemimpinan organisasi, dan timbulnya kultus individu. Untuk itu, para Pemohon dalam petitum meminta agar Mahkamah menyatakan norma a quo bertentangan dengan UUD 1945. (Utami/AL/LA)