JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (2/7/2020). H.R. Abdussalam selaku Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyebutkan, “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”
Pemohon Perkara 46/PUU-XVIII/2020 ini mengalami penipuan terkait kepemilikan apartemen. Pemohon adalah mantan penyidik Polri, mantan penyidik Kopkamtib dan mantan penyidik tindak pidana korupsi di bawah Jaksa Agung langsung serta seorang peneliti dan penulis buku.
Pemohon membuat laporan ke kepolisian terkait tindak pidana penipuan atas rumah susun dengan Nomor LP/05/I/2015/Bareskrim tanggal 6 Januari 2015 yang kemudian dilimpahkan kepada Kapolda Metro Jaya dengan surat Nomor B/37/Ops/I/2015/Bareskrim tanggal 7 Januari 2016 perihal Pelimpahan Laporan Polisi.
Pemohon mengungkapkan bahwa Penyidik Polda Metro Jaya telah mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidik Nomor S.Tap/566/VII/Ditreskrimum, tanggal 13 Juli 2015 tanpa memberi tembusan kepada Pemohon hingga saat ini. Menurut Pemohon, proses penyidikan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
“Atas penghentian penyidikan laporan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan pra peradilan namun ditolak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 88/PidPraper/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 6 Oktober 2015. Kemudian Pemohon mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 PK/PID/2016 permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima,” urai Abdussalam kepada Panel Hakim MK.
Kemudian, Pemohon menerima tembusan Surat Dirreskrimum Polda Metro Jaya Nomor R/1529/II/2020/Ditreskrimum, tanggal 29 Februari 2020 perihal Pemberitahuan penghentikan Penyidikan, tanpa surat ketetapan penghentian penyidikan, yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemohon untuk mengajukan pra peradilan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 12 Maret 2020. Terhadap permohonan pra peradilan tersebut, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 28/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel, tanggal 28 April 2020 menyatakan menolak pra peradilan Pemohon. Dalam Putusan tersebut, tercantum bahwa Termohon menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP) Nomor SPPP/653/II/2020/Dit.Reskrimum, tanggal 29 Februari 2020 dan Surat Ketetapan S.Tap/607/II/2020/Dit. Reskrimum, tanggal 29 Februari 2020 yang tidak pernah diterima hingga saat ini oleh Pemohon.
Pemohon menilai hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan adanya proses penyidikan yang telah berlangsung selama 3 (tiga) tahun 3 (tiga) bulan dan dihentikan dengan adanya penerapan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Oleh karena itu, pasal tersebut dianggap Pemohon tidak memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada Pemohon.
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul selaku Ketua Panel menasehati Pemohon agar membaca peraturan-peraturan yang berhubungan dengan membuat permohonan berperkara di MK. “Ada di UU MK dan Peraturan MK yang secara jelas menguraikan bagaimana cara mengajukan permohonan di MK,” ucap Manahan yang menyarankan Pemohon agar didampingi kuasa hukum untuk memaparkan permasalahan yang dipersoalkan Pemohon.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pengujian undang-undang di MK bukanlah kelanjutan dari proses peradilan lembaga lain. “Kalau di peradilan lain mengadili kasus konkret. Sedangkan di MK memeriksa dan memutus atau mengadili persoalan yang berhubungan dengan apakah suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa itu bertentangan atau tidak dengan Konstitusi. MK adalah pengadilan norma. Itu yang harus jadi catatan,” jelas Arief.
Arief menyarankan Pemohon agar memperbaiki sistematika permohonan mulai dari identitas Pemohon yang jelas. “Karena identitas Pemohon nanti berhubungan apakah Pemohon punya kedudukan hukum atau tidak untuk mengajukan permohonan. Sistematika permohonan berikutnya berhubungan dengan adanya kewenangan Mahkamah yang menguji undang-undang atau perppu. Selanjutnya berhubungan dengan kedudukan hukum Pemohon, posita Pemohon atau alasan permohonan. Terakhir petitum,” kata Arief.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai permohonan Pemohon terlalu tebal dengan isi permohonan yang tidak cukup mudah dipahami oleh Majelis Hakim. “Yang bisa mengerti hanya Pemohon sendiri, sedangkan permohonan Pemohon diterbitkan kepada publik melalui laman MKRI. Sebaiknya permohonan harus bisa mudah dipahami mengenai hal yang dipersoalkan Pemohon. Permohonan terlalu panjang dan banyak disampaikan persoalan konkret,” tandas Enny. (Nano Tresna Arfana/RA/NRA).