JAKARTA, HUMAS MKRI - Diskresi merupakan kewenangan yang dimiliki presiden untuk membentuk organisasi pemerintahan negara, seperti membentuk kementerian, lembaga negara, non-kementerian, dan lembaga pemerintahan lainnya yang diperintahkan undang-undang. Kewenangan ini termasuk pula membentuk berbagai badan, pusat, dan unit kerja guna membantu kinerja presiden dalam melaksanakan mandat konstitusi untuk mencapai tujuan negara, seperti wakil menteri.
Demikian diungkapkan oleh Eko Prasojo selaku Ahli Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian aturan mengenai wakil menteri seperti tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) pada Kamis (2/7/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 80/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Bayu Segara.
“Padahal organisasi pemerintahan itu (wakil menteri) merupakan pengejawantahan kekuasaan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945,” papar Eko yang merupakan pakar Administrasi Negara tersebut.
Baca juga: Keberadaan Wakil Menteri Tunjukkan Pemerintah Ikuti Perkembangan Zaman
Dalam keterangannya, Eko yang merupakan pakar Administrasi Negara ini, menjabarkan untuk memahami keberadaan wakil menteri perlu dipahami status dan kedudukan wakil menteri dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Berpedoman pada UUD 1945, sambung Eko, bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dengan sistem presidensial. Namun dalam kekuasaannya tersebut, presiden juga dibatasi oleh norma dengan mengutamakan asas efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Selain itu, presiden juga harus dapat membuat suatu struktur pemerintahan yang tidak bertentangan dengan asas negara hukum dan bentuk negara republik.
Berkaitan dengan permohonan Pemohon, yang mendalilkan keberadaan wakil menteri maka seharusnya pihaknya mencermati terlebih dahulu Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan secara tegas bahwa presiden adalah pemegang kekuasan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sedangkan pada Pasal 10 UU Kementerian Negara, hanya disebutkan bentuk kelanjutan dari bagian organisasi pemerintahan yang dapat dibentuk oleh presiden guna menjalankan mandat konstitusi.
“Hal ini dimungkinkan dilakukan oleh presiden karena dinamika dan globalisasi yang berkembang dalam kehidupan bernegara. Sehingga pada intinya Presiden diberikan kewenangan untuk mendesain struktur pemerintahan. Dan perlu dipahami bahwa konstitusi tidak mengatur semua teknis pemerintahan seperti yang dibutuhkan presiden dalam pelaksanaan pemerintahannya,” jelas Eko yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Negara Kementerian PAN-RB periode 2011 – 2014.
Dengan demikian, Eko melanjutkan, kendati jabatan wakil menteri tidak disebutkan dalam pasal tersebut, presiden tetap dapat membentuk organisasi tersebut sebagai bentuk dari merespon beban kerja pemerintahan melalui kewenangan diskresi tersebut. Dengan argumentasi yang harus didasarkan pada kebutuhan dan pertimbangan strategis serta tantangan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan tugas di kementerian.
“Jadi, jumlah wakil menteri yang ada dalam struktur pemerintahan itu harus didasarkan pada kompleksitas dan program prioritas pembangunan nasional dalam pemerintahan tertentu,” tegas Eko di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Jabatan Politik
Eko juga menguraikan, sebenarnya jabatan wakil menteri adalah jabatan politik karena berdasarkan pada pengangkatannya yang dilakukan oleh presiden. Tujuannya untuk melaksanakan tugas tertentu sehingga seorang wakil menteri harus miliki kepakaran atau keahlian yang memadai. Di samping itu, hal penting yang perlu ada pada seorang wakil menteri adalah asalnya yang diharapkan dari kalangan profesional.
Sehingga dapat membangun legitimasi untuk membantu menteri dalam tugas-tugas yang tidak bisa diselesaikan pejabat birokrasi. Bahwa wakil menteri juga dapat berperan sebagai jembatan dalam menghubungkan pejabat tinggi negara yang dalam hubungannya sangat birokratis. Dengan demikian, keberadaan wakil menteri pun dapat difungsikan sebagai pelaksana tugas harian di kementerian untuk melakukan koordinasi dan memastikan sinergi antarlembaga agar dapat terjalin dengan baik.
Sebelumnya, Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas pelantikan 12 wakil menteri di sebelas kementerian oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Oktober 2019. Keberadaan wakil menteri ini dinilai bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 karena keberadaan jabatan tersebut dinilai bersifat subjektif. Hal ini dikarenakan tidak adanya kedudukan, kewenangan, dan fungsi yang jelas dalam UU Kementerian Negara. Pasalnya, pengaturan kedudukan fungsi tugas wakil menteri diatur dengan peraturan presiden. Hal tersebut merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan amar konstitusi yang menyatakan kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang wakil menteri adalah materi muatan undang-undang.
Di sisi lain, dalam UU Kementerian tidak mengatur hal tersebut. Pemohon menduga hal ini dapat menimbulkan kesewenang-wenangan karena tidak melibatkan DPR sebagai representasi wakil rakyat. Selain itu, Pemohon juga menyebutkan pengangkatan 12 wakil menteri merupakan tindakan subjektif presiden yang tidak memiliki alasan urgensi yang jelas. Keberadaan jabatan wakil menteri disinyalir akan mengakibatkan negara harus menyiapkan fasilitas khusus yang hanya membuang-buang anggaran negara.
Dalam pelaksanaan sidang ini, MK menerapkan penjarakan fisik demi mendukung percepatan penanganan Covid-19 yang masih terjadi di banyak negara di dunia dengan berpedoman pada panduan protokol kesehatan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sebelum menutup persidangan, Anwar mengingatkan kembali agar para pihak dapat menyerahkan kesimpulan keterangan selambat-lambatnya pada Rabu, 8 Juli 2020 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK. (Sri Pujianti/AL/LA)