JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang diajukan oleh Novan Lailathul Rizky dan empat Pemohon lainnya yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta. “Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian disampaikan Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (25/6/2020).
Sebelumnya para Pemohon menguji Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).”
Para Pemohon mendalilkan, dalam menjalani aktivitas keseharian selalu menggunakan motor dan sering sekali para Pemohon mengalami keadaan yang mengancam keamanan dan keselamatan jiwanya yang disebabkan banyaknya anak-anak di bawah umur mengendarai motor. Bahkan tidak jarang pengendara motor di bawah umur tersebut masih bersekolah pada tingkat sekolah dasar yang berusia berkisar 7-10 Tahun. Walaupun para Pemohon sudah mengendarai motor secara patut dan hati-hati serta mengikuti rambu-rambu lalu lintas, namun sering sekali para Pemohon hampir mengalami kecelakaan akibat perilaku anak di bawah umur yang secara hukum belum layak mengendari motor bahkan belum memiliki SIM C.
Baca Juga…
Uji UU LLAJ: Sanksi Bagi Orang Tua yang Izinkan Anak Bermotor
Permohonan Uji UU Lalu Lintas Tak Ada Perubahan
Mahkamah berpendapat norma Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ tidak bertentangan dengan UUD 1945 meskipun tidak dilekati dengan makna yang dimohonkan oleh para Pemohon. Di sisi lain, pendapat Mahkamah demikian tidak boleh diartikan bahwa makna yang dimohonkan para Pemohon agar dilekatkan pada Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ adalah hal yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Sebab Mahkamah pada hakikatnya tidak sampai mempertimbangkan terlebih menilai konstitusionalitas substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon a quo. Hal demikian karena pemaknaan yang dimohonkan para Pemohon, seandainya dikabulkan, mengharuskan Mahkamah untuk membentuk norma hukum baru, in casu merumuskan kebijakan kriminalisasi. Pembentukan norma baru secara fundamental selalu dihindari oleh Mahkamah, karena hal demikian merupakan tugas lembaga legislatif sebagai positive legislator,”ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra yang membacakan pertimbangan Mahkamah.
Penting ditegaskan oleh Mahkamah, di samping pertimbangan hukum kekinian sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah juga mengingatkan kembali pendiriannya sebagaimana esensi pertimbangan hukum pada putusan-putusan sebelumnya, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi (criminal policy) yang berkaitan erat dengan perampasan kemerdekaan warga negara benar-benar harus mendapatkan persetujuan lembaga perwakilan rakyat yang merupakan representasi kehendak rakyat.
Dengan demikian, melalui putusan a quo Mahkamah mendorong agar makna Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ sebagaimana dimaksud para Pemohon diusulkan kepada lembaga legislatif untuk dibahas sebagai kebijakan pidana dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan di jalan yang diakibatkan oleh adanya pengendara kendaraan bermotor yang masih di bawah umur.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 311 ayat (1) UU LLAJ sepanjang tidak dimaknai termasuk pengemudi yang belum memasuki usia dewasa secara hukum, maka terhadap orang yang dengan sengaja memberikan/meminjamkan kendaraan bermotor adalah tidak beralasan menurut hukum,” tandas Saldi.
(Nano Tresna Arfana/Halim/NRA)