JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang diajukan oleh Marcell Kurniawan dan Rosdiana Ginting yang keduanya merupakan pengusaha lembaga kursus mengemudi, akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 14/PUU-XVIII/2020, Kamis (25/6/2020).
Baca Juga…
Instruktur dan Pengusaha Kursus Mengemudi Gugat UU LLAJ
Sebelumnya, para Pemohon Perkara ini mempersoalkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 karena dapat menghambat adanya keseragaman kompetensi dalam sikap, pengetahuan dan keterampilan mengemudi sehingga menghambat penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
“Terhadap dalil a quo, perlu ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, tidak hanya dilakukan melakukan jalur tertentu saja. Penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui berbagai jalur, yaitu jalur formal, nonformal dan informal. Ketiga jalur tersebut saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pendapat Mahkamah.
Selain itu para Pemohon mendalilkan frasa “atau belajar sendiri” dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan ketidakadilan bagi output lembaga kursus dan pelatihan para Pemohon. Terhadap dalil tersebut, menurut Mahkamah, jika dicermati argumentasi para Pemohon berkenaan dengan anggapan adanya pertentangan antara frasa a quo dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 pada pokoknya adalah sama yaitu adanya anggapan terjadi ketidakpastian hukum terhadap output lembaga kursus dan pelatihan tempat usaha para Pemohon.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah telah terjawab melalui pertimbangan pada paragraf di atas bahwa yang menjadi objek atau tujuan untuk memperoleh kompetensi mengemudi, dalam hal ini adalah untuk memperoleh SIM, di mana segala aturan mengenai syarat, jenis serta lembaga yang berwenang menerbitkan SIM tersebut telah jelas diatur dalam
Pasal 77, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, dan Pasal 88 UU LLAJ.
Dengan demikian sudah jelas bahwa apapun bentuk kompetensi yang menjadi output dari lembaga pendidikan pelatihan, selama calon pengemudi tersebut tidak lulus ujian mengemudi sebagaimana dimaksud undang-undang a quo, maka dapat dipastikan kompetensi tersebut tidak cukup sebagai syarat untuk mendapatkan SIM, khususnya untuk calon pengemudi yang belajar di lembaga pendidikan dan pelatihan. Namun sebaliknya, jika seseorang yang belajar sendiri ternyata berdasarkan hasil ujian mengemudi dinyatakan memiliki kompetensi yang cukup untuk mendapatkan SIM maka kompetensi tersebut harus diakui, dan tidak dapat dikatakan kompetensi tersebut menjadi tidak sah atau tidak valid.
Selain itu, menurut Mahkamah, sistem pendidikan nasional maupun dalam praktik sehari-hari, untuk berbagai jenis keahlian jika seseorang yang belajar sendiri dapat lulus ujian standardisasi sebagaimana seseorang yang mendapatkan keahlian tersebut melalui pendidikan dan pelatihan yang resmi atau dengan dilatih tenaga profesional, bukan berarti terjadi ketidakpastian terhadap akreditasi tenaga pelatih dan instruktur dimaksud.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa negara tidak mungkin melarang warga negaranya untuk memperoleh keahlian dengan belajar sendiri tanpa melalui lembaga yang terakreditasi, karena ukuran kompetensi adalah pada ujian yang telah ada standardnya, bukan pada dengan cara apa kompetensi tersebut diperoleh.
Bahkan dalam standar internasional pun, pada batas-batas tertentu, misalnya, untuk penguasaan bahasa Inggris yang dibuktikan dengan sertifikat Test of English as a Foreign Language (TOEFL) atau International English Language Testing System (IELTS) tidak mensyaratkan bahwa seseorang harus sebelumnya mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait keahlian dimaksud. Hal inipun tidak berimplikasi pada terjadinya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap akreditasi pengajar bahasa Inggris.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon tentang frasa atau belajar sendiri dalam Pasal 77 ayat (3) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” tegas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh yang juga membacakan pendapat Mahkamah.
(Nano Tresna Arfana/Halim/NRA).