JAKARTA, HUMAS MKRI – Sejak diundangkan pada 12 Mei 2020, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada Kamis (25/6/2020) siang, Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto menggelar sidang Pemeriksaan pendahuluan pengujian materiil UU 2/2020 untuk tiga perkara sekaligus. Tiga perkara tersebut, yakni perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh 50 pemohon yang menamakan dirinya Aktivis Pro Demokrasi (PRODEM); perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Munarman, dkk.; dan perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Sururudin.
Dalam permohonannya, para Pemohon Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Iwan Sumule selaku Pemohon Prinsipal, menilai hak konstitusional para Pemohon terlanggar dengan berlakunya UU 2/2020. Para Pemohon menilai UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 karena undang-undang yang seharusnya membahas mengenai kebijakan keuangan semasa pandemi Covid-19 justru membahas mengenai APBN.
“Hal ini berpotensi merugikan negara dan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, yaitu Pasal 23 UUD 1945 dan aturan-aturan tersebut tidak dirujuk oleh UU 2/2020,” ujar Iwan di hadapan Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Daniel Y.P. Foekh tersebut.
Selain itu, para pemohon menganggap kebijakan keuangan negara dalam UU 2/2020 berpotensi disalahgunakan tanpa kontrol dan pengawasan oleh badan-badan yang berwenang, sehingga akan bertentangan dengan aturan yang mengatur keuangan negara. Apalagi dalam UU 2/2020 disebutkan terkait dengan kerugian negara yang dikeluarkan oleh Pemerintah/dan atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan dibidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip dasar keuangan negara serta meniadakan peran BPK untuk menilai dan mengawasinya.
Membuka Peluang Korupsi
Para Pemohon yang terdiri dari 50 orang warga negara tersebut juga mendalilkan Pasal 1 sampai dengan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 menempatkan posisi Presiden lebih tinggi daripada DPR dan BPK yang dapat berdampak porsi kekuasaan melebihi daripada yang diamanatkan pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
“Selain itu juga, Lampiran UU 2/2020 justru membuka peluang korupsi yang sebesar-besarnya terhadap keuangan negara karena seluruh biaya yang diambil dari APBN sudah lebih dulu dianggap bukan kerugian negara, dan pejabatnya tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana,” papar Yasin selaku kuasa hukum para Pemohon.
Hal senada juga didalilkan, para Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020 mempersoalkan kewenangan berlebih yang dimiliki oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) yang tidak bisa digugat ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UU 2/2020.
“Ini menabrak sistem ketatanegaraan kita terkait fungsi pengawasan keuangan yang dimiliki oleh BPK serta fungsi yudikatif. Karena dengan adanya Pasal 27 ayat 1 UU 2/2020 terkait pengambilan keputusan oleh KSSK yang tidak dikategorikan dalam kerugian negara,” ungkapnya
Munarman pun menyebut UU 2/2020 telah menghapus secara tidak langsung mengenai kerugian negara yang berpotensi menyebabkan peluang korupsi. “Undang-undang ini memperbolehkan korupsi sebebas-bebasnya di negara ini,” tegasnya.
Cacat Hukum
Secara formil, Munarman mengungkapkan para Pemohon juga mempermasalahkan pembentukan UU 2/2020 yang dinilai cacat secara hukum. Munarman yang merupakan Pemohon Prinsipal mengungkapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020. Kemudian disetujui pada Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan III Tahun 2019-2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tanggal 12 Mei 2020. Dengan kata lain penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dibahas dan disetujui pada masa sidang yang sama, yaitu Masa Sidang III.
“Kami menemukan fakta Perppu 1/2020 terbitkan pada Masa Sidang III DPR. Dan kemudian dijadikan undang-undang pada masa persidangan ketiga itu juga. Padahal dalam norma konstitusi, seharusnya undang-undangnya disahkan pada Masa Sidang IV. Untuk itu, menurut kami, perpu ini disahkan tidak sesuai dengan UUD 1945,” tegas Munarman.
Lebih lanjut, Munarman menyebut pengesahan Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 tidak memenuhi kuorum anggota DPR yang hadir. Rapat Paripurna DPR yang membahas Perppu a quo untuk disetujui menjadi undang-undang dengan dihadiri seluruh fraksi serta 296 anggota DPR dari total seluruh anggota DPR yang berjumlah 575 orang, terdiri dari 41 anggota hadir secara fisik dan 255 anggota “hadir” secara virtual. Namun klaim “kehadiran” secara virtual dianggap tidak sesuai dengan Tata Tertib DPR yang mengatur bahwa sebelum menghadiri rapat harus terlebih dahulu menandatangani daftar hadir.
Meniadakan Keterlibatan DPR
Kemudian, Sururudin selaku Pemohon perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 mendalilkan adanya kekuasaan yang besar diberikan kepada presiden untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020 sampai dengan 2023 sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020.
“Selain tidak sejalan dengan tujuan undang-undang juga berlawanan dengan kekuasaan DPR yang mempunyai fungsi anggaran sebagaimana Pasal 20A ayat (1) UUD 1945,” ujar Sururudin yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukum.
Dengan alasan-alasan tersebut, Para Pemohon dalam petitumnya, meminta Mahkamah untuk menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuannya secara hukum.
Kerugian Konstitusional
Dalam menanggapi perkara ini, Wakil Ketua MK Aswanto menyarankan agar para Pemohon Perkara 42/PUU-XVIII/2020 menguraikan kerugian konstitusional yang dialami secara komprehensif. Selain itu, Pemohon harus menguraikan kedudukan hukum dari 50 Pemohon. “Ini disisir ulang kemudian dielaborasi agar sesuai dengan struktur permohonan MK,” sarannya.
Sementara itu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menyampaikan beberapa catatan kepada para Pemohon Perkara 42/PUU-XVIII/2020 bahwa perlu menguraikan kerugian konstitusional dari badan hukum pemohon. “Jadi, ini jika semakin banyak maka uraiannya semakin panjang. Belum lagi kalau norma-norma yang diajukan pengujian berkaitan dengan batu uji. Semakin banyak batu uji, maka semakin panjang uraiannya agar dapat meyakini Majelis Hakim,” ujar Daniel.
Para Pemohon diberikan waktu oleh Panel Hakim selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya, perbaikan permohonan harus diterima Kepaniteraan MK pada 8 Juli 2020. (Utami/Fitri/LA)