JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) terkait aturan menyalakan lampu bagi motor. Sidang Pengucapan Putusan ini digelar pada Kamis (25/6/2020) di Ruang Sidang Panel MK. Sidang Perkara Nomor 8/PUU-XVIII/2020 ini diselenggarakan dengan penerapan pola penjarakan fisik (physical distancing) guna mendukung pencegahan penyebaran Covid-19, yang telah disesuaikan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI dan World Health Organization (WHO).
“Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman terhadap Putusan perkara yang dimohonkan Eliadi Hulu (Pemohon I) bersama Ruben Saputra Hasiholan Nababan (Pemohon II).
Dalam permohonannya, Eliadi menceritakan bahwa dirinya ditilang petugas Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Jakarta Timur saat mengendarai sepeda motor dalam perjalanan menuju kampus pada Senin, 8 Juli tahun 2019 pukul 09.00 WIB. Alasannya, ia tidak menyalakan lampu utama sepeda motor yang dikendarai sehingga disangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ. Singkat cerita, setelah membaca ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut, ia merasa tidak mengerti manfaat dari menyalakan lampu utama sepeda motor pada siang hari. Pemohon juga mempertanyakan ketentuan dalam UU LLAJ yang mewajibkan menyalakan lampu utama pada siang hari. Dalam permohonannya, para Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut tidak mencerminkan asas kejelasan rumusan karena frasa “pada siang hari” tidak mudah dimengerti. Akibatnya, menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Padahal, setiap peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Namun, keberlakuan pasal-pasal tersebut telah nyata menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon.
Baca juga: Ditilang Tidak Menyalakan Lampu Motor, Dua Mahasiswa Uji UU LLAJ
Melalui pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan bahwa berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ yang didalamnya memuat aturan semua kendaraan bermotor tanpa terkecuali wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu. Pada kondisi ini setiap kendaraan pun harus menyalakan lampu utama guna salin mengantisipasi kendaraan lain yang berada di sekitarnya saat melintas.
Sementara itu, ketentuan untuk wajib menyalakan lampu bagi sepeda motor seperti termaktub dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ tentu memiliki alasan keamanan tersendiri. Siang hari situasi terang sehingga setiap kendaraan dapat saja mengantisipasi kendaraan lain, termasuk kendaraan di belakangnya melalui kaca spion. Namun, dengan ukuran dan bentuk sepeda motor yang mudah melakukan akselerasi di jalan dan bentuknya yang relatif lebih kecil, seringkali pengendara lain tidak bisa mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di belakang maupun dari depan dengan jarak yang masih relatif jauh. Dengan kewajiban pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama pada siang hari, maka pengendara kendaraan lain di depan motor tersebut dengan mudah dapat mengantisipasi keberadaan sepeda motor yang ada di sekitarnya
“Maka jelaslah dari Pasal 107 ayat (1) dengan Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ ada penekanan khusus terkait perbedaan pada keadaan gelap dan keadaan terang. Dalam keadaan gelap, semua pengendara kendaraan wajib menyalakan lampu utama. Adapun pada keadaan terang hanya sepeda motorlah yang wajib menyalakan lampu utama. Dengan demikian, menurut Mahkamah, makna “siang hari” haruslah dilekatkan dengan keadaan pada saat hari sedang terang. Oleh karena itu, dalam konteks norma a quo tidak diperlukan pembagian pagi-siang-petang atau sore untuk memaknainya,” jelas Suhartoyo terhadap para Pemohon yang mendalilkan Pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Dampak Ambiguitas
Sehubungan dengan permohonan para Pemohon yang meminta agar frasa “siang hari” dimaknai sepanjang hari, Mahkamah berpandangan bahwa hal tersebut tidak bersesuaian dengan kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon. Di samping itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada terjadinya ambiguitas pemberlakuan Pasal 107 UU LLAJ. Sebab, Pasal 107 UU LLAJ, baik ayat (1) maupun ayat (2) dimaksudkan pembentuk undang-undang untuk memerintahkan pengendara sepeda motor menyalakan lampu utama, baik pada saat gelap maupun terang.
“Apabila frasa “siang hari” dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ perlu diubah menjadi “sepanjang hari”, menurut Mahkamah hal ini justru tidak tepat karena di samping menjadi ambigu, juga akan terjadi tumpang tindih dengan norma yang ada dalam Pasal 107 ayat (1) UU LLAJ,” sampai Suhartoyo.
Kerancuan Penegakan Hukum
Selanjutnya berdasarkan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ, sambung Suhartoyo, apabila frasa “siang hari” diganti dengan frasa sepanjang hari, maka akan terjadi tumpang tindih dan redundansi serta saling tidak bersesuaian dengan norma Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ. Karena kata “sepanjang hari” sebagaimana yang dimaksudkan para Pemohon dapat bermakna siang maupun malam. Padahal pengaturan sanksi untuk pelanggaran penggunaan lampu utama saat gelap dan kondisi tertentu, telah diatur dalam Pasal 293 ayat (1) UU LLAJ, baik kualifikasi pelanggaran maupun ancaman sanksi yang ditetapkan.
Suhartoyo meneruskan bahwa hal krusial dapat terjadi apabila dilakukan pengubahan ini adalah adanya kerancuan yang muncul saat aparat ingin melakukan penegakan hukum. Ketika seorang pengendara sepeda motor tidak menyalakan lampu utama pada malam hari, maka aparat akan menemukan kesulitan berkenaan dengan kualifikasi pelanggaran yang dilakukan pengendara sepeda motor.
“Maka Mahkamah berpendirian bahwa makna frasa “siang hari” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ dan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ telah jelas dan memberikan kepastian hukum. Sehingga jikalau masih ada pendapat yang menganggap pagi dan sore atau petang hari adalah berbeda dengan siang hari, hal demikian semata-mata hanya permasalahan anggapan yang didasarkan pada kelaziman istilah penyebutan saja, bukan permasalahan yang berdasarkan pada kajian teori, doktrin, dan argumentasi ilmiah,” sampai Suhartoyo.
Sebagai informasi tambahan, demi mendukung upaya pencegahan persebaran Covid-19, MK telah mengimbau para Pihak, baik Pemohon, Kuasa Pemohon, Pemerintah, Ahli, Saksi maupun berbagai pihak yang terkait lainnya untuk dapat menggunakan fasilitas persidangan secara daring (online). Untuk mendukung jalannya persidangan dengan cara tersebut, MK memanfaatkan teknologi Zoom dan CloudX dalam mempermudah berbagai pihak untuk tetap dapat mengikuti persidangan dari kediaman masing-masing. Para pihak yang akan mengikuti persidangan diharapkan melaporkan terlebih dahulu perangkat yang dimanfaatkan kepada Tim Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) MK sekurang-kurangnya dua hari sebelum persidangan digelar. Sementara para pihak yang ingin mengikuti perkembangan perkara yang sedang disidangkan dapat menyaksikan melalui live streaming di laman resmi atau akun YouTube MK di tempat tinggal masing-masing. (Sri Pujianti/FY/LA)